KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Esa Yang senantiasa
memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita sekalian sehingga kita
dapat menjalankan aktivitas sehari-hari. Shalawat serta salam selalu terhatur
kepada Nabi dan Rasul kita, Rasul yang menjadi panutan semua ummat, yakni Nabi
Besar Muhammad SAW serta keluarga dan sahabat beliau yang telah membawa kita
dari jurang yang penuh kesesataan menuju sebuah kehidupan yang penuh
kebahagiaan dan kedamaian.
Suatu rahmat yang besar dari Allah
SWT yang selanjutnya penulis syukuri, karena dengan kehendaknya, taufiq dan
rahmatnya pulalah akhirnya penulis dapat menyelasaikan makalah ini guna
persyaratan untuk mengikuti SC Tingkat Nasional Yang dilaksanakan oleh
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Banda Aceh pada tanggal 15 s/d 21 Oktober 2012 di Gedung
APEC, Pagar Air Lambaro Aceh Besar. Adapun judul makalah ini adalah: “Psikologi
Pendidikan Islam”
Selanjutnya penulis mengucapkan terima
kasih sebanyak-banyaknya kepada HMI Cabang Banda Aceh dan juga rekan-rekan
kader-kader HMI yang selalu berjuang, yang selalu memberikan saran, koreksi dan
motivasi yang sangat membangun. Dan juga tidak lupa penulis mengucapkan ribuan
terima kasih kepada Kanda-Kanda Alumni (KAHMI) yang juga tidak luput memberi
bantuan kepada penulis, dari segi moril maupun materil serta ucapan terima
kasih juga penulis sampaikan untuk semua kader HMI Cabang Banda Aceh yang telah
berjuang untuk mengadakan SC ini dengan harapan dan tujuan yang sangat mulia.
Makalah ini merupakan hasil jerih payah penulis yang sangat
maksimal sebagai manusia yang tidak lepas dari salah dan khilaf. Namun penulis
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.
Jadi saran, kritik dan koreksi yang membangun sangat penulis harapkan dari
rekan-rekan semua.
Akhirnya, kepada Allah jualah kita memohon. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi kita sebagai penambah wawasan dan cakrawala pengetahuan.
Dan dengan memanjatkan do’a dan harapan semoga apa yang kita lakukan ini menjadi amal
dan mendapat ridha dan balasan serta ganjaran yang berlipat ganda dari
Allah SWT yang maha pengasih lagi
maha penyayang.
Billahittaufiq Wal Hidayah
Banda Aceh, 8 Oktober 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR……………………………………………………………………. i
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………………… ii
BAB I :
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang Masalah……………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah………................................................................................. 1
C.
Tujuan
Penulisan……………………………………………………………… 1
BAB
II : PEMBAHASAN
A.
Psikologi
dan Kepribadian Muslim……………………………………………. 2
a.
Pengertian
Kepribadian …………………………………………………… 2
b.
Psikologi
dan kepribadian muslim………………………………………… 4
c.
Struktur
Kepribadian Islam……………………………………………….. 6
d.
Pola
dan Ciri – Ciri Kepribadian Muslim………………………………… 11
B.
Tujuan
Pendidikan……………………………………………………………… 15
1.
Tujuan Pendidikan Pancasila……………………………………………….. 15
2.
Tujuan Umum Pendidikan Manusia……………………………………….. 15
3.
Tujuan Pendidikan Islam (Khusus)…………………………………..…….. 18
BAB
III : PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………………. 19
DAFTAR
PUSTAKA …………………………………………………………………… 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang
dibekali dengan berbagai potensi fitrah yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Potensi
istimewa ini dimaksudkan agar manusia dapat mengemban dua tugas utama, yaitu
sebagai khalifatullah di muka bumi dan juga abdi Allah untuk
beribadah kepada-Nya.
Manusia dengan berbagai potensi tersebut
membutuhkan suatu proses pendidikan, sehingga apa yang akan diembannya dapat
terwujud. H. M. Arifin, dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam,
mengatakan bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk mewujudkan manusia yang
berkepribadian muslim baik secara lahir maupun batin, mampu mengabdikan segala
amal perbuatannya untuk mencari keridhaan Allah SWT. Dengan demikian, hakikat
cita-cita pendidikan Islam adalah melahirkan manusia-manusia yang beriman dan
berilmu pengetahuan, satu sama lain saling menunjang.
Pendidikan memiliki hubungan yang sangat erat
dengan psikologi. Pendidikan merupakan suatu proses panjang untuk mengaktualkan
seluruh potensi diri manusia sehingga potensi kemanusiaannya menjadi aktual.
Dalam proses mengaktualisasi diri tersebut diperlukan pengetahuan tentang
keberadaan potensi, situasi dan kondisi lingkungan yang tepat untuk
mengaktualisasikannya. Pengetahuan tentang diri manusia dengan segenap
permasalahannya akan dibicarakan dalam psikologi umum. Dalam hal pendidikan
Islam yang dibutuhkan psikologi Islami, karena manusia memiliki potensi luhur,
yaitu fitrah dan ruh yang tidak terjamah dalam psikologi umum
(Barat).
Berdasarkan uraian diatas, maka sudah selayaknya
dalam pendidikan Islam memiliki landasan psikologis yang berwawasan kepada
Islam, dalam hal ini dengan berpandu kepada al-Quran dan hadits sebagai
sumbernya, sehingga akhir dari tujuan pendidikan Islam dapat terwujud dan
menciptakan insan kamil bahagia di dunia dan akhirat. Sebenarnya,
banyak sekali istilah untuk menyebutkan psikologi yang berwawasan kepada Islam.
Diantara para psikolog ada yang menyebut dengan istilah psikologi Islam,
psikologi al-Qur’an, psikologi Qur’ani, psikologi sufi dan nafsiologi. Namun
pada dasarnya semua istilah tersebut memiliki makna yang sama.
B. Rumusan
Masalah
Oleh karena itu permasalahan rumusan masalah yang ingin penulis kaji adalah
berkaitan dengan
Bagaimana
Psikologi Kepribadian Muslim dan Tujuan Pendidikan baik itu
secara umum maupun khusus.
C. Tujuan
Penulisan
Untuk
mengetahui bagaimana Psikologi Kepribadian Muslim dan Tujuan Pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Psikologi
dan Kepribadian Muslim
Psikologi Pendidikan adalah suatu ilmu yang mempelajari
tentang gejala-gejala kejiwaan terhadap anan didik dalan situasi pendidikan.
Psikologi disebut juga dengan ilmu jiwa. Mempelajari psikologi pendidikan
sangat penting apalagi bagi seorang pendidik, guna supaya terciptanya suatu
kondisi belajar yang efektif.
Arthur S. Reber (Syah,
1997 / hal. 12)
Definisi Psikologi pendidikan adalah sebuah subdisiplin ilmu psikologi yang berkaitan dengan teori dan masalah kependidikan yang berguna dalam hal-hal sebagai berikut :
Definisi Psikologi pendidikan adalah sebuah subdisiplin ilmu psikologi yang berkaitan dengan teori dan masalah kependidikan yang berguna dalam hal-hal sebagai berikut :
- Penerapan prinsip-prinsip belajar dalam kelas
- Pengembangan dan pembaharuan kurikulum
- Ujian dan evaluasi bakat dan kemampuan
·
Sosialisasi proses-proses dan interaksi
proses-proses tersebut dengan pendayagunaan ranah kognitif
- Penyenggaraan pendidikan keguruan
Menurut Muhibbin Syah, Definisi psikologi pendidikan adalah sebuah disiplin
psikologi yang terjadi dalam dunia pendidikan.
Berbicara mengenai psikologi pendidikan sangat luas
pembicaraannya. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibatasi pada
persoalan-persoalan bakat dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Mengingat hal
tersebut sangat berhubungan erat dalam pembentukan pribadi seseorang.
a.
Pengertian
Kepribadian
Kepribadian
dalam bahasa Arab disebut as-syakhshiyyah, berasal dari kata syakhshun,
artinya, orang atau seseorang atau pribadi. Kepribadian bisa juga diartikan
identitas seseorang (haqiiqatus syakhsh). Kepribadian atau syakhshiyyah
seseorang dibentuk oleh cara berpikirnya (aqliyah) dan caranya berbuat untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginannya (nafsiyah).[1]
Kepribadian
berasal dari kata Personality (bahasa Latin) yang berarti kedok atau topeng.
Yaitu tutup muka yang sering dipakai oleh pemain-pemain panggung, yang
maksudnya untuk menggambarkan perilaku, watak atau pribadi seseorang. Hal itu
dilakukan oleh karena terdapat ciri-ciri yang khas, yang hanya dimiliki oleh
seseorang tersebut baik dalam arti kepribadian yang baik, ataupun yang kurang
baik. Secara filosofis dapat dikatakan bahwa pribadi adalah ”aku yang sejati”
dan kepribadian merupakan “penampakan sang aku” dalam bentuk prilaku tertentu.
Disini
muncul gagasan umum bahwa kepribadian adalah kesan yang diberikan seseorang
kepada orang lain yang diperoleh dari apa yang dipikir, dirasakan, diperbuat
yang terungkap mealui perilaku.
Selanjutnya berdasarkan pengertian kata-kata tersebut
para ahli mengemukakan definisinya sebagai berikut:
- Woodworth: Kualitas dari seluruh tingkah laku seseorang.
- Morrison: Keseluruhan dari apa yang dicapai seseorang individu dengan jalan menampilkan hasil- hasil kultural dari evolusi social.
- Hartmann: Susunan yang terintegrasikan dari ciri-ciri umum seseorang individu sebagaimana yang dinyatakan dalam corak khas yang tegas yang diperhatikannya kepada orang lain.
- William James: kepribadian ialah unsur kesatuan yang berlapis lapis dari diri materi, diri sosial, diri ruhani dan ego murni.
- Sigmond Freud: kepribadian adalah terdiri atas tiga sistem yaitu id, ego dan super ego.
- Sementara itu John Hocke telah mengemukakan teori tabula, rasa atau papan lilin yang siap untuk digambari, berbeda dengan Islam yang menempatkan fitrah sebagai potensi dasar kejiwaan.
- Para intelektual Muslim: mendefinisikan kepribadian yakni merupakan bentuk integrasi antara system kalbu, akal dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku.
b.
Psikologi
dan kepribadian muslim
Para
psikolog memandang kepribadian sebagai struktur dan proses psikologis yang
tetap, yang menyusun pengalaman-pengalaman individu serta membentuk berbagai
tindakan dan respons individu terhadap lingkungan tempat hidup. Dalam masa pertumbuhannya,
kepribadian bersifat dinamis, berubah-ubah dikarenakan pengaruh lingkungan,
pengalaman hidup, ataupun pendidikan. Kepribadian tidak terjadi secara serta
merta, tetapi terbentuk melalui proses kehidupan yang panjang. Dengan demikian,
apakah kepribadian seseorang itu baik atau buruk, kuat atau lemah, beradab atau
biadab sepenuhnya ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi dalam
perjalanan kehidupan seseorang tersebut.
Substansi
nafsani memiliki tiga daya yaitu (1) kalbu atau fitrah ilahiyah, akal atau
fitrah insani dan nafsu atau firah hayawaniah. Kepribadian pada dasarnya
merupakan perpaduan antara ketiga daya tersebut, hanya saja biasanya ada salah
satu diantaranya yang mendominasi yang lain.[2]
Al
Kindi mendefinisikan jiwa adalah an nafs nathiqah substansinya bersifat ilahi
rabbani yang berasal dari cahaya (nur) sang pencipta.[3]
Oleh karena itu jiwa atau hati harus senantiasa dihidupkan dengan cahaya ilahi.
Dalam Islam hati yang hidup adalah sumber kebaikan dan kematian hati adalah
sumber keburukan. Akar semua kebaikan dan kebahagiaan seorang hamba adalah
kesempurnaan hidup dan cahayanya. Hati
yang sehat dan hidup akan bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan.
Kepribadian seorang Muslim berarti menuntut agar jiwanya
selalu hidup dengan nur ilahi. Inilah yang membedakan antara kepribadian
menurut konsep Islam. Kepribadian Islam merupakan ciri khas, watak maupun
karakter umat Islam. Kepribadian Muslim atau sering disebut akhlak Islami yaitu
prilaku seorang Muslim yang merupakan perpaduan harmonis antara kalbu, akal dan
fitrah insani.
Kepribadian bagi seorang Muslim ialah yang senantiasa
menjaga hatinya untuk selalu taat kepada Allah dan berbahagia karena dekat
kepada Allah sehingga memperoleh sinarnya dengan senantiasa mengerjakan
ibadah dan amal saleh lainya.. sedangkan hati yang kotor dan ingkar kepada
Allah yang muncul dari anggota badanya adalah sifat keji adalah bekas hati yang
kotor dan gelap tanpa sinar.
Dalam hal ini Hasan al Basri berkata : Kebagusan Akhlak
ialah manis mukanya, memberi kelebihan dan mencegah kesakitan. Sedang Al
Washili berkata akhlak yang baik ialah menyenangkan manusia pada waktu suka dan
duka. Dan Sahal al Tsauri berkata akhlak yang baik ialah sekurang-kurangnya
menanggung penderitaan orang lain, tidak membalas kezaliman orang lain,
memintakan ampunan kepada Allah terhadap orang yang berbuat zalim dan belas
kasih kepadanya.[4]
Jika dilihat dari definisi definisi tersebut maka menurut
pendapat penulis maka hal-hal seperti tersebut adalah buah dari akhlak karena
akhlak itu sendiri adalah system kerja rohani yang terdapat dalam jiwa manusia.
Kadang-kadang dalam kondisi tertentu terjadi perubahan
tingkah laku. Hal ini disebabkan karena salah satu substansi jiwa mendominasi
yang lainnya. Jika dalam interaksi seseorang didominasi oleh nafsu maka yang
muncul ialah sifat pendusta, egois, bakhil, suka mengancau dan amarah. Hal ini
dalam psikologi Islam dinamakan jiwa yang sedang sakit. Tetapi apabila yang
mendominasi akal dan kalbu maka yang muncul adalah sifat-sifat terpuji dan
ma’rifat kepada Allah, inilah yang akan mendatangkan kebahagiaan.
Hasil kerja kalbu atau kepribadian yang didominasi dengan
kalbu akan menghasilkan kepribadian mutmainah wujudnya kepribadian atas
dasar iman, Islam, dan ikhsan. Sedangkan kepribadian yang didominasi dengan
akal akan menghasilkan kepribadian lawwamah, suatu kepribadian yang berdasarkan
sosial moral dan rasional. Dan kepribadian yang didominasi oleh nafsu
menghasilkan kepribadian amarah, ia bersifat produktif, kreatif dan konsumtif.
Oleh karena itu kepribadian ada yang menarik dan ada yang
tercela. Kepribadian yang menarik ialah kepribadian yang memiliki sifat-sifat
positif seperti rajin, sabar, pemurah dan suka menolong. Sedangkan kepribadian
yang tercela yaitu kepribadian yang negatif seperti pemalas, pemarah, kikir,
sombong dan sebagainya.
c.
Struktur
Kepribadian Islam
Wacana psikologi Islam tentang struktur dan kepribadian
sangat erat pembahasannya dengan substansi manusia. Substansi jiwa menurut para
filosof maupun psikolog Islam terdiri atas tiga bagian yaitu jasmani, rohani
dan nafsani atau nafsu. Substansi jasmani berupa organisme fisik manusia ia
lebih sempurna dibanding makhluk-makhluk yang lain bersifat lahiriyah yang
memiliki unsur-unsur tanah, udara, api, dan air ia akan hidup jika
diberi daya hidup atau al bayah.
Substansi ruh adalah substansi yang merupakan
kesempurnaan awal. Al Gazali menyebutnya lathifah yang halus dan
bersifat ruhani. Ruh sudah ada ketika tubuh belum ada dan tetap ada meskipun
jasadnya telah mati. Fathur Rahman menyatakan bahwa ruh adalah amanah, karena
itu ia memiliki keunikan dibanding dengan makhluk yang lain. Dengan amanah
inilah ia menjadi kalifah di muka bumi.[5]
Substansi nafsani berarti jiwa, nyawa atau ruh, konotasinya ialah kepribadian
dan substansi psiko fisik manusia. Nafs ini merupakan gabungan dari jasad dan membentuk suatu kepribadian Muslim yaitu
merupakan perpaduan harmonis antara kalbu, akal dan nafsani.
Struktur kepribadian Islam merupakan perpaduan harmonis
antara kalbu, akal, dan nafsani.
1.
Al
Qalb atau kalbu merupakan materi organik yang memiliki system kognisi yang berdaya
emosi. Al Gazali menyatakan bahwa kalbu memiliki insting yang disebut al
nur al ilahy dan al bashirah al bathinah (mata batin). Kalbu
dalam arti jasmani adalah jantung (heart) bukan hati (lever). Kalbu
dalam artian rohani ialah menunjukan kepada hati nurani (conscience) dan ruh
(soul).[6]
Kalbu ini berfungsi sebagai pemandu, pengontrol dan
pengendali struktur nafs yang lain. Apabila kalbu ini berfungsi normal maka
manusia menjadi baik sesuai dengan fitrah aslinya. Karena kalbu memiliki nature
ilahiyah yang dipancarkan dari Tuhan. Ia tidak saja mampu mengenal fisik dan
lingkungannya tetapi juga mampu mengenal lingkungan spiritual ketuhanan dan
keagamaan
Mengenai kalbu ini Rasulullah SAW pernah bersabda :
“Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging,
apabila ia baik maka semua tubuh menjadi baik, tetapi apabila ia rusak maka
semua tubuh menjadi rusak pula, ingatlah bahwa ia adalah kalbu”.
Menurut Huzaifah, hati terbagi menjadi empat yaitu hati
yang bersih, yaitu (1) hatinya orang beriman dan mendapat sinar (2) hati yang
tertutup yaitu hatinya orang kafir, hati yang buta dan tidak melihat kebenaran
(3) hati yang terjungkir yaitu hatinya orang munafik yaitu melihat kebenaran tetapi
kemudian mengingkarinya (4) hati yang memiliki dua bekal yakni bekal iman dan
bekal kemunafikan, ia tergantung dari mana yang paling dominan. Orang yang
kalbunya disinari Tuhan maka ia akan memiliki kepribadian yang kuat, teguh dan
tidak mudah putus asa. Dan apabila ia
memiliki nafsu muthmainah ia akan tenang dan optimis karena ia yakin rahmat
Tuhan pasti akan diberikan.
Agar kalbu selalu mandapat sinar Ilahiyah menurut imam Al
Gazali maka harus berilmu dan iradah (kemauan). Dengan ilmu manusia akan mengetahui
segala urusan dunia dan akhirat, dan menurut al Gazali kalbu berfungsi untuk
memperoleh kebahagiaan akhirat. Secara psikologis kalbu memiliki daya emosi (al
infialy) dan kognisi.
2.
Akal
secara estimologi memiliki arti al imsak (menahan) al
Ribath (ikatan) al Bajr (menahan) al Naby (melarang)
dan manin (mencegah)
Berdasarkan makna ini maka yang disebut orang berakal
adalah orang yang mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya. Jika hawa nafsunya
terikat maka rasionalitinya mampu bereksistensi. Dengan akal seseorang mampu
membedakan yang baik dan yang buruk, yang menguntungkan dan merugikan. Akal
mampu memperoleh pengetahuan dengan daya nalar (al Nazhr) dan daya
argumentatif.
Melalui akal manusia bisa bermuhasabah yakni menunda
keinginan tidak terburu-buru mengerjakannya sehingga menjadi jelas olehnya
kelayakannya untuk dikerjakan atau ditinggalkan.
Menurut al Hasan jika pekerjaan tersebut dimotivasi untuk
mengharap ridho Allah maka kerjakanlah, tetapi jika tidak karena Allah lebih
baik ditunda dahulu. Dan jika motivasinya untuk memperoleh ridha Allah maka
harus berfikir dahulu apakah dalam mengerjakan sesuatu itu ia memperoleh
pertolongan atau tidak, jika tidak sebaiknya ditunda terlebih dahulu. Dan
apabila sudah mendapat kepastian akan pertolongan Allah maka kerjakanlah
sehingga ia akan mendapat keberuntungan.
Muhasabah juga bisa dilakukan setelah selesai mengerjakan
sesuatu, yakni apakah yang dikerjakan sudah ikhlas karena Allah, sesuai dengan
ketentuan Allah. Apakah waktu mengerjakan lepas kendali atau tidak, bagus
akibatnya atau tidak. Dengan muhasabah orang akan selamat dan bisa menjadi
lebih baik perilkunya dan kepribadiannya.
Sebagaimana Plato, Al Zukhaily berpendapat bahwa jiwa
rasional itu bertempat di kepala sehingga yang berfikir adalah akal bukan
kalbu. Antara akal dan kalbu sama sama memperoleh daya kognisi tetapi cara dan
hasilnya berbeda. Akal mampu mencapai pengetahuan rasional tetapi tidak yang
supra rasional, sehingga ia mampu mencapai kebenaran tetapi tidak mampu
merasakan hakekatnya.[7]
Menurut Al Gazali agar manusia dapat senantiasa
berdekatan dan mendapat nur ilahy maka ia harus berilmu dan mempunyai iradah
(kemauan). Dengan ilmu seseorang akan mengetahui segala urusan dunia dan
akhirat serta segala sesuatu yang berhubungan dengan akal. Dengan kemauan dan
akal seseorang akan mengetahui cara-cara untuk memperbaiki serta mencari sebab
sebab yang berhubungan dengan hal itu. Al Gazali berpendapat bahwa orang yang
sakit nafsunya selalu menginginkan makanan yang enak.[8]
Hal ini memberi pengertian kepada kita bahwa jika orang
tersebut sehat maka secara akal berarti semua makanan asalkan sehat dan halal
dan toyyiban pasti akan terasa enak (lezat). Dengan demikian nafsu untuk selalu
menginginkan hal hal yang enak enak akan dapat dikurangi atau dilawan dengan
kondisi sehat.
Al Gazali juga berpendapat bahwa ilmu yang diperoleh
dalam hati akan memiliki kekuatan untuk melihat dan dapat membedakan aneka
bentuk. Pandangan batin dan pandangan lahir sesungguhnya sama sama memiliki
kebenaran, tetapi berbeda derajatnya. Hati laksana pengendara sedang akal
laksana kendaraan. Buruknya hati atau pengendara akan lebih membahayakn dari
pada buruknya kendaraan itu sendiri. Namun demikian akal tetap diperlukan untuk
menyelesaikan problem-problem kehidupan. Akal yang sehat akan mempengaruhi
tindakan dan emosi seseorang juga kepribadiannya.
Akal terbagi menjadi dua yaitu akal dharuri dan akal
muktasabah. dharuri yaitu akal yang dapat mengetahui secara mudah. Akal
muktasabah ialah akal yang baru mengetahui dengan cara diusahakan, akal
muktasabah terbagi dua yaknu muktasabah duniawi ialah akal yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan keduniawiyan. Akal muktasabah
ukhrawi yakni akal yang digunakan untuk mencapai akhirat.
Secara psikologis orang-orang yang memiliki jiwa yang
bersih dan akal yang sempurna maka ia akan mampu mengaktualisasikan diri dalam
hidup dan kehidupan, yakni melihat realitas secara cermat, tepat apa adanya dan
lebih efisien.[9] Ia
dapat menerima keadaan dirinya dan orang lain secara professional, yakni
mengakui segala kelebihan dan keterbatasan masing-masing, dengan demikian ia
akan bisa menerima masukan-masukan dari orang lain secara alamiah tanpa paksaan.
3.
Nafsani
Nafsu
merupakan daya nafsani, ia memiliki dua kekuatan
yaitu, al-Ghadhabiyah dan al-Syahwaniyah.
Al-Ghadhabiyah adalah suatu daya yang berpotensi untuk menghindari
segala hal yang membahayakan. Ghadab dalam psikoanalisa disebut
defenci (pertahanan, pembelaan dan penjagaan), yaitu suatu tindakan untuk
melindungi egonya sendiri terhadap kesalahan, kecemasan, dan rasa malu atas
perbuatannya sendiri, sedang syahwat dalam psikologi disebut appetite yaitu
hasrat atau keinginan atau hawa nafsu, prinsipnya adalah kenikmatan. Apabila
keinginannya tidak dipenuhi maka terjadilah ketegangan, prinsip kerjanya adalah
sama dengan prinsip kerja binatang, baik binatang buas yang suka menyerang
maupun binatang jinak yang cenderung pada nafsu seksual.
Nafsu
merupakan struktur di bawah sadar dalam kepribadian manusia, apabila manusia
didominasi oleh nafsunya, maka ia tidak akan dapat bereksistensi baik di dunia
maupun diakhirat. Karena itu apabila kepribadian seseorang didomonasi oleh
nafsu maka prinsip kerjanya adalah mengejar kenikmatan dunia, tetapi apabila
nafsu tersebut dibimbing oleh kalbu cahaya ilahi maka ghadabnya akan berubah
menjadi kemampuan yang tinggi derajatnya.
Jika
nafsu tersebut dikuasai oelh cahaya ilahi yang muncul adalah sifat-sifat
kebaikan, tetapi jika nafsu itu dikuasai oleh syaitan maka yang muncul adala
sifat-sifat syaitaniyah dan ini disebut hati yang sakit ,hati yang sakit
bisa sembu apabila ia kembali kepada cahaya ilahi tetapi akan lebih sakit
apabila ia dikuasai oleh nafsu syaitan.
Dalam
ilmu jiwa orang yang terganggu mentalnya tidaklah mudah diukur atau diperiksa
dengan alat-alat kesehatan, untuk mengetahuinya biasanya hanya bisa dilihat
gejalanya seperti tindakannya, tingkah laku dan pikirannya, seperti gelisah,
iri hati, sedih yang tidak beralasan, hilangnya rasa kepercayaan diri, pemarah,
keras kepala, merosot kecedasannya, suka memfitnah, mengganggu orang lain dan
sebagainya.
Kesehatan
mental juga berpengaruh terhadap kesehatan badan, akhir-akhir ini dalam ilmu
kedokteran ditemukan istilah psychomtic yaitu penyakit yang disebabkan oleh
mental, misalnya tekanan darah tinggi, tekanan darh rendah, exceem, sesak
nafas, dan sebagainya.
Obat
dari berbagai penyakit mental dan yang disebabkan oleh mental adalah
berfungsinya system kerja yang harmonis antara kalbu, akal, dan nafsu. Dan ini hanya bisa dilakukan melalui latihan-latihan
kejiwaan secara terus menerus.
Harmonisnya jiwa memungkinkan seseorang dapat berhubungan
secara harmonis ditengah masyarakat. Untuk itu diperlukan The Art of
Interction yaitu seni berhubungan yang baik menuju akhlak yang baik,
sebagai landasan utama kebahagian umat, akhlak yang baik juga merupakan faktor
utama dalam memperbaiki kepribadian seseorang.[10]
Dalam ilmu tasawuf jiwa yang bersih dan jiwa kotor
termasuk dalam nafsu. Dan mereka membagi nafsu menjadi 3 bagian
:
1. Nafsu amarah, ia senantiasa cenderung
maksiat, baik maksiat lahir maupun maksiat bathin. Orang yang didominasi oleh
nafsu amarah maka wujud kepribadiannya ialah tamak, serakah, keras kepala,
angkuh, dan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji lainnya seperti free
sexs, suka berkelahi dan sebagainya.
2. Nafsu lawamah, ia sudah mendapat nur ilahi dan
suka beribadah tetapi masih sering melakukan maksiat bathin kemudian bersegera
beristighfar dan berusaha memperbaikinya. Orang yang berkepribadian lawamah
maka senantiasa akan mengevaluasi diri (self correction) untuk menjadi lebih
baik.
3. Nafsu muthmainah, suatu kepribadian yang bersumber dari
kalbu manusia, di dalamnya selalu terhindar dari sifat-sifat yang tercela dan
tumbuh sifat-sifat yang terpuji dan selalu tenang. Kecenderungannya ialah
beribadah, mencintai sesama, bertambah tawakal, dan mencari ridho Allah dan
bersifat teosentris. Menurut Ibnu Kholdum bahwa ruh kalbu itu disinggahi oleh
ruh akal. Ruh akal ini
substansinya mampu mengetahui apa saja di alam amar. Ia menjadi tidak mampu
mencapai pengetahuan disebabkan adanya hijab, apabila hijab itu hilang maka ia
akan mampu menemukan pengetahuan. Bahkan sebagian ahli tasawuf yang lain
membagi nafsu menjadi 7 bagian, yaitu : nafsu amarah, nafsu lawamah, nafsu
malhamah, nafsu muthmainah, nafsu al rodhiyah, nafsu mardhiyah, dan nafsu
kamilah.
d.
Pola
dan Ciri – Ciri Kepribadian Muslim
Kepribadian
merupakan “keniscayaan”, suatu bagian dalam (interior) dari diri kita yang
masih perlu digali dan ditemukan agar sampai kepada keyakinan siapakah diri
kita yang sesungguhnya. Dalam Al-Qur’an Allah SWT telah menerangkan model
kepribadian manusia yang memiliki keistimewaan dibanding model kepribadian
lainnya.
Di antaranya adalah Surah al-Baqarah [2] ayat 1-20. Rangkaian
ayat ini menggambarkan tiga model kepribadian manusia, yakni kepribadian orang
beriman, kepribadian orang kafir, dan kepribadian orang munafik.
Berikut ini adalah sifat-sifat atau ciri-ciri dari
masing-masing tipe kepribadian berdasarkan apa yang dijelaskan dalam rangkaian
ayat tersebut, adapun sesuai dengan tema pada kali ini, fokus pada ciri atau
sifat kepribadian muslim sesuai Al-Qur'an dan
Sunnah, yang merupakan dua pusaka Rasulullah Saw yang harus selalu dirujuk oleh
setiap muslim dalam segala aspek kehidupan. Satu dari sekian aspek kehidupan
yang amat penting adalah pembentukan dan pengembangan pribadi muslim. Pribadi
muslim yang dikehendaki oleh Al- Qur'an dan sunnah adalah pribadi yang shaleh,
pribadi yang sikap, ucapan dan tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai yang
datang dari Allah Swt. Ada sepuluh profil atau ciri khas yang harus lekat pada
pribadi muslim, yaitu:
1.
Salimul Aqidah
Aqidah yang bersih (salimul aqidah)
merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih,
seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah Swt dan dengan
ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-
ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan
menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang
artinya:
'Sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semua bagi Allah Tuhan semesta alam' (QS Al-An’am [6] :162).
2. Shahihul ‘Ibadah
Ibadah yang benar (shahihul ibadah)
merupakan salah satu perintah Rasul Saw yang penting, dalam satu haditsnya;
beliau menyatakan: 'shalatlah kamu
sebagaimana kamu melihat aku shalat.' Dari ungkapan ini maka dapat
disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada
sunnah Rasul Saw yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau
pengurangan.
3.
Matinul Khuluq
Akhlak yang kokoh (matinul khuluq)
atau akhlak yang mulia merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap
muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk-makhluk-Nya.
4.
Qowiyyul Jismi
Kekuatan
jasmani (qowiyyul jismi) merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus
ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga
dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat.
Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus
dilaksanakan dengan fisik yang sehat atau kuat, apalagi perang di jalan Allah
dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.
Oleh
karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan
pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun
demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang
terjadi, dan jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan
jasmani juga termasuk yang penting, maka Rasulullah Saw bersabda yang artinya:
'Mu'min yang kuat lebih aku cintai daripada mu'min yang lemah' (HR. Muslim).
5.
Mutsaqaful Fikri
Intelek dalam berpikir (mutsaqqoful
fikri) merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang penting. Karena itu salah
satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas) dan Al-Qur'an banyak mengungkap
ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berpikir, dalam firman Allah SWT:
“Mereka bertanya
kepadamu tentang, khamar dan judi. Katakanlah: 'pada keduanya itu terdapat dosa
besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: 'Yang lebih dari keperluan.' Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir (QS 2:219).
6. Mujahadatun Linafsihi
Berjuang melawan hawa nafsu
(mujahadatun linafsihi) merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada
diri seorang muslim, karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang
baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari
yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan dan kesungguhan itu akan ada manakala
seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu.
Oleh karena itu hawa nafsu yang ada
pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam, Rasulullah
Saw bersabda yang artinya:
Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran islam) (HR. Hakim).
7.
Haritsun 'ala Waqtihi
Pandai menjaga waktu (harishun ala
waqtihi) merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena
waktu itu sendiri mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan
Rasul-Nya. Allah Swt banyak bersumpah di dalam Al-Qur'an dengan menyebut nama
waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan sebagainya. Allah
Swt memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama setiap, Yakni 24 jam
sehari semalam.
Dari
waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang
rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan: 'Lebih baik
kehilangan jam daripada kehilangan waktu'. Waktu merupakan sesuatu yang cepat
berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat
dituntut untuk memenej waktunya dengan baik, sehingga waktu dapat berlalu
dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia.
Maka
diantara yang disinggung oleh Nabi Saw adalah: “memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni
waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, senggang
sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
8.
Munazhzhamun fi Syu'unihi
Teratur dalam suatu urusan
(munzhzhamun fi syuunihi) termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan
oleh Al-Qur'an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang
terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan
dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama,
maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya.
9.
Qodirun 'alal Kasbi
Memiliki kemampuan usaha sendiri
atau yang juga disebut dengan mandiri (qodirun alal kasbi) merupakan ciri lain
yang harus ada pada seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan.
Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan
manakala seseorang memiliki kemandirian, terutama dari segi ekonomi.
10. Naafi'un
Lighoirihi
Bermanfaat bagi orang lain (nafi'un
lighoirihi) merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang
dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang
disekitarnya merasakan keberadaannya karena bermanfaat besar. Ini berarti setiap muslim itu harus
selalu berpikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa
bermanfaat dalam hal-hal tertentu sehingga jangan sampai seorang muslim itu
tidak bisa mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya.
HR.
Bukhari Muslim: "Khoirunnas Anfa
'uhum linnas", yang artinya: sebaik-baik manusia adalah yang
bermanfaat bagi manusia lainnya.
Gambaran
manusia mukmin dengan segenap ciri yang terdapat dalam Al-Qur’an ini merupakan
gambaran manusia paripurna (insan kamil) dalam kehidupan ini, dalam batas yang
mungkin dicapai oleh manusia. Allah menghendaki kita untuk dapat berusaha
mewujudkannya dalam diri kita, Rasulullah saw telah membina generasi pertama
kaum mukminin atas dasar ciri-ciri tersebut. Beliau berhasil mengubah
kepribadian mereka kaum jahilin secara total serta membentuk mereka sebagai
mukmin sejati yang mampu mengubah wajah sejarah dengan kekuatan pribadi dan
kemuliaan akhlak mereka. Singkatnya,
kepribadian orang beriman dapat menjadi teladan bagi orang lain.
B.
Tujuan
Pendidikan
1.
Tujuan Pendidikan Pancasila
Rumusan formal konstitusional dalam
UUD 1945 maupun dalam GBHN dan Undang-Undang Kependidikan lainnya yang berlaku
adalah tujuan normative GBHN 1983 merumuskan tujuan pendidikan nasional sebagai
berikut :
“Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan tarhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan keterampilan , mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa
2.
Tujuan Umum Pendidikan Manusia
a.
Hakikat manusia menurut Islam
Manusia adalah makhluk (ciptaan)
Tuhan, hakikat wujudnya bahwa manusia adalah mahkluk yang perkembangannya
dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan.
Dalam teori pendidikan lama, yang
dikembangkan didunia barat, dikatakan bahwa perkembangannya seseorang hanya
dipengaruhi oleh pembawaan (nativisme) sebagai lawannya berkembang pula teori
yang mengajarkan bahwa perkembangan seseorang hanya ditentukan oleh lingkungannya
(empirisme), sebagai sintesisnya dikembangkan teori ketiga yang mengatakan
bahwa perkembangan seseorang ditentukan oleh pembawaan dan lingkungannya
(konvergensi).
Manusia adalah makhluk utuh yang
terdiri atas jasmani, akal, dan rohani sebagai potensi pokok, manusia yang
mempunyai aspek jasmani, disebutkan dalam surah al Qashash ayat : 77 :
“Carilah kehidupan akhirat dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadamu tidak boleh melupakan urusan dunia “
“Carilah kehidupan akhirat dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadamu tidak boleh melupakan urusan dunia “
b.
Manusia Dalam Pandangan Islam
Manusia dalam pandangan Islam
mempunyai aspek jasmani yang tidak dapat dipisahkan dari aspek rohani tatkala
manusia masih hidup didunia.
Manusia mempunyai aspek akal. Kata
yang digunakan al Qur’an untuk menunjukkan kepada akal tidak hanya satu macam.
Harun Nasution menerangkan ada tujuh kata yang digunakan :
3. Kata Nazara, dalam surat al
Ghasiyyah ayat 17 :“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia
diciptakan”
4. Kata Tadabbara, dalam surat Muhammad
ayat 24 :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur’an ataukah
hati mereka terkunci”
5. Kata Tafakkara, dalam surat an Nahl
ayat 68 :
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah : “buatlah
sarang-sarang dibukit-bukit, dipohon-pohon kayu, dan ditempat-tempat yang
dibikin manusia”.
6. Kata Faqiha, dalam surat at Taubah
122 :
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi
semuanya (kemedan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”
7. Kata Tadzakkara, dalam surat an Nahl
ayat 17 :
“Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang
tidak dapat menciptakan apa-apa? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”.
8. Kata Fahima, dalam surat al Anbiya
ayat 78 :
“Dan ingatlah kisah daud dan Sulaiman, diwaktu keduanya
memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh
kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan keputusan yang diberikan
oleh mereka itu”.
9. Kata ‘Aqala, dalam surat al Anfaal
ayat 22 :
“Sesungguhnya
binatang(makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang
pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa-pun.
Manusia mempunyai aspek rohani
seperti yang dijelaskan dalam surat al Hijr ayat 29 :“Maka Aku telah
menyempurnakan kejadiannya dan meniupkan kedalamnya roh-Ku, maka sujudlah
kalian kepada-Nya”.
c.
Manusia Sempurna Menurut Islam
-
Jasmani
Yang sehat Serta Kuat dan Berketerampilan
Islam menghendaki agar orang Islam
itu sehat mentalnya karena inti ajaran Islam (iman). Kesehatan mental berkaitan
erat dengan kesehatan jasmani, karena kesehatan jasmani itu sering berkaitan
dengan pembelaan Islam.
Jasmani yang sehat serta kuat
berkaitan dengan ciri lain yang dikehendaki ada pada Muslim yang sempurna,
yaitu menguasai salah satu ketrampilan yang diperlukan dalam mencari rezeki
untuk kehidupan.
Para pendidik Muslim sejak zaman
permulaan – perkembangan Islam telah mengetahui betapa pentingnya pendidikan
keterampilan berupa pengetahuan praktis dan latihan kejuruan. Mereka
menganggapnya fardhu kifayah, sebagaimana diterangkan dalam surat Hud ayat 37:
“Dan buatlah bahtera itu dibawah
pengawasan dan petunjuk wahyu kami, dan jangan kau bicarakan dengan aku tentang
orang-orang yang zalim itu karena meeka itu akan ditenggelamkan”.
-
Cerdas
Serta Pandai
Islam menginginkan pemeluknya cerdas
serta pandai yang ditandai oleh adanya kemampuan dalam menyelesaikan masalah
dengan cepat dan tepat, sedangkan pandai di tandai oleh banyak memiliki
pengetahuan dan informasi. Kecerdasan dan kepandaian itu dapat dilihat melalui
indikator-indikator sebagai berikut
1) Memiliki sains yang banyak dan
berkualitas tinggi.
2) Mampu memahami dan menghasilkan
filsafat.
3) Rohani yang berkualitas tinggi.
Kekuatan rohani (tegasnya kalbu)
lebih jauh daripada kekuatan akal. Karena kekuatan jasmani terbatas pada
objek-objek berwujud materi yang dapat ditangkap oleh indera.
Islam sangat mengistemewakan aspek
kalbu. Kalbu dapat menembus alam ghaib, bahkan menembus Tuhan. Kalbu inilah
yang merupakan potensi manusia yang mampu beriman secara sungguh-sungguh.
Bahkan iman itu, menurut al Qur’an tempatnya didalam kalbu.
3.
Tujuan Pendidikan Islam (Khusus)
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan
umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi
menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan
kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Islam menghendaki agar manusia
dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah
digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut Allah ialah beribadah
kepada Allah. Seperti dalam surat a Dzariyat ayat 56 :
“ Dan Aku menciptakan Jin dan
Manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”.
Jalal menyatakan bahwa sebagian
orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan shalat, shaum pada bulan
Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah Haji, serta mengucapkan syahadat. Tetapi
sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang
dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban
orang islam untuk mempelajarinya agar ia dapat mengamalkannya dengan cara yang
benar.
Ibadah ialah jalan hidup yang
mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa
perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan Allah.
Menurut al Syaibani, tujuan
pendidikan Islam adalah :
1. Tujuan yang berkaitan dengan
individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku masyarakat,
tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki
untuk hidup di dunia dan di akhirat.
2. Tujuan yang berkaitan dengan
masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam
masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.
3. Tujuan profesional yang berkaitan
dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi,
dan sebagai kegiatan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kepribadian atau watak, ciri khas atau karakter seseorang
yang secara eksis dan terus menerus dipertahankan, meskipun demikian
kepribadian bisa berubah ubah sesuai dengan faktor yang mempengaruhi.
Dalam Islam kepribadian Muslim identik dengan akhlak
Islam, ia merupakan perpaduan harmonis antara system kalbu, akal dan nafsu yang
menimbulkan tingkah laku dan merupakan ciri khas umat Islam. Karena itu ciri
khas kepribadian Muslim ialah yang selalu menjaga hatinya untuk taat kepada
Allah sehingga senantiasa mendapat sinarnya dan menjauhi segala larangannya
yang merupakan kotoran-kotoran manusia.
Struktur kepribadian Muslim meliputi tiga substansi,
yaitu jasad atau jasmani, ruh atau ruhani dan nafsani atau jiwa, jiwa itu
sendiri terdiri dari kalbu, akal dan nafsu. Sedangkan nafsu terdiri dari nafsu
amarah, lawamah dan muthmainah. Semuanya ini merupakan struktur kepribadian
Islam, yang jika system kerjanya bagus semua akan membentuk kepribadian kamil
atau manusia paripurna yang tenang, selalu berbuat kebaikan, tawakal dan
terhindar dari sifat sifat tercela.
Dan ciri – ciri kepribadian muslim ada 10: Aqidah yang bersih, Ibadah yang benar, Akhlak yang
kokoh, Kekuatan jasmani, Intelek dalam berpikir, Berjuang melawan hawa nafsu,
Pandai menjaga waktu, Teratur dalam suatu urusan, Memiliki kemampuan usaha
sendiri atau yang juga disebut dengan mandiri dan Bermanfaat bagi orang lain.
Tetapi kenyataanya sering ada gangguan-gangguan kejiwaan
yang dapat menurunkan derajat kepribadianya atau kesehatan mentalnya. Untuk
menyembuhkannya harus melalui latihan latihan mental secara terus menerus
seperti sabar ,taubat , tawakal, ridha dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Mujib dan Yusuf Mudzakir, Nuansa
Nuansa Psikologi Islam,
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001
Al Kindi, Al Qaul fi
an Nafs dalam Risail al Kindi al
Falasifat, TP, TT
Al Gazali, Imam, Ihya Ulumuddin, Bab Keajaiban Hati, terj. H. Ismail Yakub, Jakarta, Faisan, 1984
Bastaman, Djumhana, Hanna, Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta , Pustaka Pelajar, 1997
Maslaw,
Abraham, Motivasi dan
Kepribadian, terj Nurul Iman
jilid I, Bandung, Pustaka Binaan
Pressindo, 1993
Sayyid
Mujtaba Musafi Hari, Psikologi Islam, Bandung,
Pustaka Hidayah, 1990
Maisyaroh, Siti,
Dalam pengertian kepribadian muslim,
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2191444-pengertian-kepribadian-muslim/
di akses tanggal 9 Okteber 2012
[1]
Siti Maisyaroh, dalam pengertian kepribadian muslim,
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2191444-pengertian-kepribadian-muslim/
di akses tanggal 9 Okteber 2012
[4]
Imam al Gazali, Ihya Ulumuddin,Bab
Keajaiban Hati, terj. H. Ismail Yakub, Jakarta,
Faisan, 1984, hlm.5
[6]
Hanna Djumhana
Bastaman, Integrasi
Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta , Pustaka
Pelajar, 1997, hlm. 78
[9]
Maslaw, Abraham, Motivasi dan Kepribadian, terj Nurul Iman, Bandung,
Pustaka Binaan Pressindo, 1993, jilid I, hlm. 6
terimahkasih
BalasHapushttp://http%3A%2F%2Fhttp%253A%252F%252Fblog.binadarma.ac.id%252Fariezaki%252F.wordpress.com.wordpress.com