KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Esa
Yang senantiasa memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua
sehingga kita dapat menjalankan aktivitas sehari-hari. Shalawat beserta salam
kita sanjung sajikan kepada nabi dan rasul kita, Rasul yang menjadi panutan
semua ummat, yakni Nabi Besar Muhammad SAW serta keluarga dan sahabat beliau
yang telah membawa kita dari jurang yang penuh kesesataan menuju sebuah
kehidupan yang penuh kebahagiaan dan kedamaian.
Suatu rahmat yang besar dari Allah SWT yang
selanjutnya penulis syukuri, karena dengan kehendaknya, taufiq dan rahmatnya
pulalah akhirnya penulis dapat menyelasaikan makalah ini guna persyaratan
untuk mengikuti Intermediate Training (LK II) Tingkat Nasional Yang
dilaksanakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jakarta Timur. Adapun
judul makalah ini adalah HMI Dalam Lintasan Sejarah Indonesia.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih
sebanyak-banyaknya kepada HMI Cabang Banda Aceh dan juga rekan-rekan
kader-kader HMI yang selalu berjuang, yang selalu memberikan saran, koreksi dan
motivasi yang sangat membangun. Dan juga tidak lupa penulis mengucapkan ribuan
terima kasih kepada Kanda-Kanda Alumni (KAHMI) yang juga tidak luput memberi
bantuan kepada penulis, dari segi moril maupun materil serta ucapan terima
kasih juga penulis sampaikan untuk semua kader HMI Cabang Jakarta Timur yang
telah berjuang untuk mengadakan Latihan Kader (LK II) ini dengan harapan dan
tujuan yang sangat mulia.
Makalah ini merupakan hasil jerih payah
penulis yang sangat maksimal sebagai manusia yang tidak lepas dari salah dan
khilaf. Namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurang dan
jauh dari kesempurnaan. Jadi saran, kritik dan koreksi yang membangun sangat
penulis harapkan dari rekan-rekan semua.
Akhirnya, kepada Allah jualah kita memohon.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita sebagai penambah wawasan dan cakrawala
pengetahuan. Dan dengan memanjatkan doa dan harapan semoga apa yang kita
lakukan ini menjadi amal dan mendapat ridho dan balasan serta ganjaran
yang berlipat ganda dari Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang.
Billahittaufiq Wal Hidayah
Bandan Aceh , 10 Februari 2011
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………………………………… iii
BAB
I : PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Masalah………………………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah
………………………………………………………………………………. 2
C. Tujuan Penulisan
………………………………………………………………………………… 2
BAB II :
ISLAM DAN TANTANGGAN GLOBALISASI
A. Sejarah Lahirnya
HMI…………………………………………………………………………… 3
1. Tujuan
HMI
…………………………………………………………………………………… 4
2. Krakteristik
HMI
……………………………………………………………………………. 4
3. Tokoh-Tokoh
Pemula HMI
…………………………………………………………….. 4
B. Peran HMI Dalam Pergulatan Politik
Indonesia …………………………………… 5
1. HMI
di Era Orde Lama ..…………………………………………………………………. 5
2. HMI
di Era Orde Baru ……………………………………………………………………. 6
3. HMI
di Era Reformasi …………………………………………………………………….. 7
4. HMI
di Era Presiden Abdurrahman Wahid Hingga SBY ………………….. 8
C. Kondisi HMI di Masa Sekarang
…………………………………………………………….. 11
1. Kondisi
HMI di Masa Sekarang
………………………………………………………. 11
2. Pendapat
Para Tokoh Terhadap Peranan HMI di Masa Sekarang ….. 12
3. Solusi
Untuk Kemajuan HMI di Masa Yang Akan Datang ………………. 13
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………………………………………. 16
B. Saran –Saran ………………………………………………………………………………………. 17
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………………………………… 18
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Kondisi bangsa
yang sedang berada di ambang kehancuran, serta butanya para generasi muda terhadap pengetahuan agama pada saat itu,
serta para komunis yang terus menerus menyesatkan ummat islam di Indonesia
membuat seorang anak muda yang bernama Lafran Pane bertekad melahirkan sebuah
organisasi yang dapat mewadahi seluruh generasi bangsa agar mereka
terselamatkan dari jurang kehancuran, maka diberilah nama organisasi tersebut
Himpunan Mahasiswa Islam atau lebih di kenal dengan singkatan (HMI).
Sebuah cita-cita
yang sangat mulia tentunya, mengingat adanya kesadaran pemuda untuk merubah
kondisi bangsa yang sedang terpuruk.
Keislaman dan Independensi merupakan icon besar yang di pajang oleh Lafran
Pane di pintu gerbang HMI, dan hal itu bukanlah hanya fikti belaka yang beliau
ucapkan, akan tetapi be
liau realisasikan dalam kehidupan nyata, terbukti ketika beliau
menolak untuk menjadi pejabat pemerintah bahkan beliau di iming-imingi dengan
sebuah jabatan besar yaitu Dewan Pertimbangan Agung, namun hal itu tidak dapat
menggoyahkan independensi beliau sebagai pendiri HMI, beliau takut kalau beliau
menerima jabatan itu generasi selanjutyan akan salah arah membawa bahtera HMI ini,
karena jelas keberadaan HMI bak berada di tengah lautan yang besar yang setiap
detiknya dapat terombang-ambing oleh ombak yang besar pula, namun pada akhirnya
meskipun beliau menerima jabatan tersebut namun beliau tidak mau dirinya
menjadi perwakilan dari partai-partai yang ada, sehingga pada saat itu beliau
merupakan satu-satunya Dewan Pertimbangan Agung yang berasal dari organisasi
mahasiswa.
Seiring
berjalannya waktu generasi yang ditinggalkan oleh Lafran Pane semakin menjurus
ke arah partai politik, memangku jabatan strategis di dalam tubuh pemerintahan,
serta sebagian diantara mereka menjadi wakil-wakil rakyat baik yang berada di
pusat maupun yang berada di tingkat daerah. Apakah itu salah?, kalau pun hal
tersebut salah, pertanyaan yang timbul selanjutnya siapa yang harus
disalahkan?, Lafran Pane kah selaku pendiri?,Atau keberadaan HMI itu sendiri
yang harus disalahkan?, tentu hal tersebut bukan kesalah dari Lafran Pane
selaku pendiri atau bukan juga kesalahan dari HMI itu sendiri karena
keberadaannya, akan tetapi hal tersebut tidaklah salah ketika para generasi HMI
yang berada didalam struktur pemerintahan mampu memberikan konstribusi yang
baik terhadap kemajuan bangsa, karena hal ini juga yang menjadi cita-cita dari keberadaan
HMI itu sendiri. Namun ketika mereka melakukan kesalahan, pendiri tidak pernah
salah, HMI tidak pernah salah, akan tetapi kesalahan tersebut mutlak milik
individual.
Kemidian
bagaimanakah kondisi generasi sekarang yang memegang amanah para pendulu HMI,
apakan kita akan menghancurkan HMI, ataukah sebaliknya kita akan menjadikan HMI
kembali membumi di negeri Indonesia ini. Hal ini lah yang akan coba kita bahas
dalam makalah ini di bawah naungan judul “HMI
DALAM LINTASAN SEJARAH INDONESIA”
B.
RUMUSAN MASALAH
-
Bagaiman proses lahirnya HMI
di negeri ini ?
-
Bagaimana peran HMI dalam
pemerintahan ?
-
Serta bagaimana kondisi HMI
di masa sekarang ?
C.
TUJUAN PENULISAN
Keberadaan HMI tentu
menjadi semangat tersendiri bagi sebagian orang dalam mengarungi pahit getir nya
medan perjuangan, namun juga keberadaan HMI dapat menjadi hal yang paling
menakutkan bagi kalangan-kalangan yang membenci hakikat dari kebenaran karena
HMI adalah organisasi yang sangar menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran serta
indenpendensi.
Dari sisi inilah
saya selaku penulis makalah mencoba untuk menuliskan torehan-torehan yang
pernah di raih HMI serta peran dari kader HMI dalam perkembangan bangsa menuju
kea rah yang lebih baik. Dan jugan bahan renungan bagi para kader penerus agar
jangan hanya bisa menjadikan capaian orang-orang pendahulu kita sebagai ajang
membanggakan diri, akan tetapi ketika amanah itu dititipkan kepada kita, bukan
membuatnya semakin Berjaya malah kita membuatnya semakin terpuruk dan lenyap di
telan masa. wallahu a’lam bisswab.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH LAHIRNYA HMI
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
didirikan Lafran Pane pada tahun 1947 dengan dasar keprihatinan atas kondisi
umat Islam yang terpecah ke berbagai aliran keagamaan dan politik, serta
terjebak dalam kebodohan dan kemiskinan. Saat itu, umat Islam di Indonesia
terbagi dalam tiga golongan, yaitu golongan alim ulama yang menjalankan agama
sesuai ajaran Nabi, golongan alim ulama yang terpengaruh mistik serta golongan
yang berusaha menyesuaikan ajaran Islam dengan kehidupan nyata bangsa
Indonesia. Golongan ketiga merupakan kelompok terkecil karena menurut Pane,
saat itu agama Islam belum dipelajari secara mendalam. Selain itu, pendidikan
dan mahasiswa juga dipengaruhi unsur dan sistem pendidikan Barat yang mengarah
pada sekularisme.
Untuk menuntaskan permasalahan itu,
perlu ada suatu organisasi yang mewadahi mahasiswa (Islam) sebagai insan
akademik bernafaskan Islam untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.
Penegasan HMI sebagai gerakan intelektual tertuang dalam Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga HMI yang bertujuan, menjadikan kadernya (mahasiswa
Islam) sebagai insan akademis dan pengabdi yang mendorong cita-cita untuk
mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur dalam ridho Allah SWT.
Pertentangan pada awal
pendirian HMI yang menganggap Lafran Pane memecah belah mahasiswa ditanggapi
Pane dengan mendatangkan penceramah untuk menyadarkan mahasiswa akan perlunya
gagasan meningkatkan kesadaran ideologi, politik dan organisasi kepada
mahasiswa Islam. Gerakan intelektual yang dilakukan HMI berfungsi merumuskan
strategi- strategi yang diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan
Walaupun HMI bernafaskan Islam, ia
tidak berniat mendirikan negara Islam. Sejak awal pendiriannya pun HMI tidak
menolak Pancasila, bahkan HMI bertekad mewujudkan nilai-nilai Pancasila di
dalam kegiatannya. Hal ini disebabkan HMI memiliki komitmen kebangsaan yang
tinggi serta Islam dan Pancasila tidak pernah dipertentangkan karena belum
adanya larangan untuk menggunakan Islam sebagai dasar organisasi.
Trikomitmennya yang terkenal, ”keislaman, keindonesiaan, kemahasiswaan” membuat
HMI tidak terjebak pada fanatisme agama secara sempit namun juga menanamkan
nilai nasionalisme pada tiap kadernya. Pada awal pendiriannya, HMI juga
merupakan satu-satunya organisasi mahasiswa yang independen saat itu, yang
melakukan perannya sebagai organisasi kader dan perjuangan.
1.
Tujuan HMI
Tujuan
HMI ketika pertama berdiri :
·
Mempertahankan
negara RI dan mempertinggi derajat rakyat indonesia.
·
Menegakkan
dan mengembangkan ajaran agama Islam
Tujuan
HMI saat ini adalah terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang
bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terbentuknya masyarakat adil makmur
yang diridloi Allah SWT.
2.
Karakteristik HMI
Karakteristik
yang sejak awal berdirinya HMI sudah melekat yaitu:
·
Berasaskan
Islam ,dan bersumber pada Al Qur'an serta As Sunah
·
Berwawasan
keindonesiaan dan kebangsaan
·
Bertujuan,
terbinanya lima kualitas insan cita
·
Bersifat
independen
·
Berstatus
sebagai organisasi mahasiswa
·
Berfungsi
sebagai organisasi kader
·
Berperan
sebagai organisasi perjuangan.
·
Bertugas
sebagai sumber insansi pembangunan bangsa.
·
Berkedudukan
sebagai organisasi modernis.
3.
Tokoh-Tokoh
Pemula Hmi
Adapun
pemrakarsa/pendiri HMI ada 16 orang, mereka merupakan para generasi muda yang
peduli akan kondisi bangsa dan agama pada saat itu. Mereka adalah Lafran Pane, Karnoto Zarkasyi, Dahlan
Husein, Maisssaroh Hilal, Suwali, Yusdi Ghozali, Mansyur, Siti Zainah, M.
Anwar, Hasan Basri, Marwan, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi dan Badron
Hadi.
B.
PERAN HMI DALAM PERGULATAN POLITIK
INDONESIA
1.
HMI di Era Orde Lama
HMI pada Orde Lama berasaskan
Islam, namun tidak berencana mendirikan negara Islam. Bahkan, salah satu tokoh
HMI, Dahlan Ranuwihardjo (ketua umum PB HMI 1951-1953) pernah berdebat dan
mengusulkan kepada presiden Soekarno untuk menolak negara Islam dan menerima
negara nasional atau NKRI. Sikap intelektual HMI ini bersifat independen.
Gagasan kerakyatan yang pernah di
usung soekarno melalui partai nya yaitu Partai Nasional Indonesia yang
didirikan pada tahun 1927 membuat rakyat tertarik pada nya, serta Pendidikan
Nasional Indonesia yang didirikan oleh Hatta. Asas PNI hatta itu tegas dengan
mencantumkan azas kebangsaan dan kerakyatan di dalam anggaran dasar perkumpulannya.
Azas kerakyatan kata hatta “ mengandung arti bahwa kedaulatan ada pada perasaan
keadilan dan kebenaran yang hidup dalam hati rakyat yang banyak, dan aturan
penghidupan haruslah sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia beralaskan
kadaulatan rakyat. Azas kedaulatan rakyat inilah yang menjadi sendi pengakuan
oleh segala jenis manusia yang beradab.
Menjelang pemilu 1955 gerakan
mahasiswa terbagi menjadi kiri (isu utama anti-kapitalisme, anti-nekolim dan
anti-fasisme) dan kanan (isu anti-komunis & anti kediktatoran). Gerakan
kiri misalnya GMNI dan CGMI yang berafiliasi dengan PNI dan PKI, sedangkan
gerakan kanan misalnya HMI yang diindikasikan berafiliasi dengan Masyumi.
Menjelang demokrasi terpimpin, bandul kekuasaan di bawah Soekarno semakin di sebelah
kiri sehingga kelompok mahasiswa kanan mengalami kekalahan. Padahal, sejak
diberlakukannya demokrasi terpimpin, gerakan mahasiswa mengalami ideologisasi
yang juga terjadi pada semua organisasi pergerakan.
Organisasi yang sesuai dengan
ideologi negara dapat berkembang, sedangkan organisasi mahasiswa yang
berseberangan dengan ideologi negara terkucilkan atau bahkan dicap kontrev
(kontrarevolusi). Presiden Soekarno sempat akan membubarkan HMI karena menilai
HMI melakukan tindakan anti-revolusi, reaksioner, aneh, menjadi tukang kritik,
liberal dan terpengaruh oleh cara berpikir Barat.
Pertentangan semakin tajam hingga menjelang
peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober) 1965,
di mana kekuasaan Soekarno
mulai goyah. HMI terlibat bersama kelompok yang banyak berasal dari kaum kanan
berkongsi dengan militer mulai mengorganisasi diri untuk menggulingkan
presiden. Pertarungan ini akhirnya dapat dimenangkan dengan tergulingnya Soekarno.
2. HMI di Era Orde
Baru
Pada masa inilah HMI memiliki
blunder secara internal, HMI mulai pecah menjadi dua kubu yang saling berseberangan
antara satu sama lain. Hal ini terjadi karena kebijakan pemerintah pada masa
itu, Pemerintahan Soeharto
pada era Orde
Baru sangat mengutamakan politik keseragaman dan pemusatan kekuasaan. Oleh
karena itu, semua kekuatan sosial dan politik dipaksa untuk mengubah dasarnya
dengan Pancasila. Jika menolak dapat berakibat dibubarkan. Tahun 1985,
pemerintah mengeluarkan kebijakan UU Ormas yang mewajibkan semua ormas
memakai asas tunggal Pancasila.
HMI pun terkena dampaknya. Kongres
XVI di Kota Padang tahun 1986 menjadi saksi pengaruh negara yang berlebihan untuk memaksakan asas
tunggal. MPO (majelis penyelamat organisasi) HMI menolak menurut mereka Islam
adalah satu-satunya ideologi yang mereka anut dan dengan menuruti pemerintah,
berarti gerakan mahasiswa sudah melupakan karakteristik mendasar . HMI akhirnya
pecah menjadi dua, HMI ”Pancasila” menjadi HMI yang ”resmi” diakui negara
(tahun 1999 HMI-DIPO mengubah asas Pancasila menjadi Islam) dan HMI Majelis
Penyelamat Organisasi (HMI MPO) yang tetap kukuh berasas Islam.
HMI-DIPO menilai MPO adalah
pemberontak yang menyempal dari HMI, sehingga keberadaannya tidak sah. Sedangkan
MPO menilai DIPO adalah sekelompok pengkhianat karena tunduk terhadap kebijakan
pemerintah Orde Baru. HMI DIPO dinilai lebih moderat karena mau menggunakan
taktik menerima asas tunggal, sedangkan MPO dinilai lebih fundamental dan tidak
mau menyerah pada pemerintah yg tirani. Pilihan HMI-MPO untuk
“berhadap-hadapan” dengan rezim Orba, mau tidak mau menempatkannya pada posisi
pinggiran (peripheral) sebagai organisasi.
Kecenderungan yang amat kuat dari
alumni HMI-DIPO yang berpengaruh untuk masuk dalam lingkup kekuasaan. Jabatan
menteri menjadi mudah diraih bagi orang yang pernah menahkodai HMI. HMI yang
menjadi bagian pendiri Orde Baru mengambil peran secara efektif sebagai sumber
rekruitmen kepemimpinan nasional yang kemudian dikenal dalam doktrin organisasi;
‘HMI sebagai sumber insani pembangunan’. Banyak ditemui tokoh HMI yang mengisi
birokrasi kekuasaan sehingga HMI ini tidak lagi menampilkan sosok herois yang
terlibat penuh dalam pergerakan mahasiswa seperti ditunjukkan oleh para
pendahulunya. Kolaborasi penguasa Orde Baru dengan mantan aktivis mahasiswa,
termasuk alumni HMI, berdampak besar terhadap peran HMI yang hampir-hampir
absen dalam setiap momentum kebangkitan gerakan mahasiswa.
Namun sebalik dengan nasib HMI-MPO
yang dianggap ilegal oleh pemerintah. Di masa
Orba, organisasi ini ditekan dan dianggap sebagai "organisasi
terlarang". Sekretariatnya terus dipantau oleh intelejen, kegiatannya
direpresi, pendapatnya dipendam secara paksa.
Dalam kasus ini, cukup
sulit untuk mengatakan sejauh mana peranan MPO pada masa Orba. Kegiatan mereka
berkisar di masalah dakwah secara sembunyi-sembunyi di mushala-mushala kampus
dan kampung yang menjadi konsentrasi pondokan mahasiswa. Yang mereka lakukan
selama itu adalah membangun opini internal turun temurun mengenai kebobrokan
orde baru. Selain itu juga ada fungsi regenerasi dengan menanamkan semangat dan
cita-cita HMI pada saat awal didirikan, garis perjuangan organisasi, dan lain
sebagainya.
Sama halnya dengan nasib organisasi
lain yang merongrong pemerintah orde baru, aktivis mahasiswa dibekukan lewat SK
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, Daoed Joesoef, yang mengeluarkan
kebijakan Normalisasi kehidupan kampus (NKK/BKK). Inilah kebijakan politis yang
dilakukan pemerintah untuk meruntuhkan struktur-struktur organisasi mahasiswa
dan sekaligus mengontrol aktivitas mahasiswa. Kegiatan mahasiswa hanya di
kurung di seputaran kampus. Mahasiswa di bungkam dan intimidasi jika melakukan
aksi menyuarakan aspirasi penderitaan rakyat, terutama lewat tekanan DO (
druo out) bahkan sebagian diantara para
aktivis yang masih kekeh mnyuarakan penderitaan rakyat, dan tidak mau mengubah
azas organisasi di penjara.
Namun pada akhirnya rezim orde baru
tumbang di tangan mahasiswa, lewat aksi besar-besaran yang dilakukan oleh para
mahasiswa yang tidak henti-hentinya hingga berhari-hari, kondisi yang seperti
itu semakin menyudutkan posisi soeharto, efek dari demostrasi tersebut membuat
harga semakin membubung tinggi, inflasi terjadi, pengrusakan dimana-mana,
disaat itulah soeharto mengambil kebijakan untuk mundur dari kursi kepresidenan
yang talah di dudukinya selama 30 tahun.
3.
HMI di Era Reformasi
Pada era Reformasi, tepatnya pada
periode kepemimpinan Habibie, sikap kedua HMI terbagi dalam dua macam gerakan.
HMI-DIPO dengan gerakan konformis moderat mendukung presiden Habibie sebagai
pemerintahan transisi, menerima SI MPR secara kritis serta mendesak diadakannya
pemilu yang jurdil dan demokratis. Sebaliknya, HMI-MPO yang konfrontatif
radikal menolak Habibie yang dianggap tidak konstitusional, menolak SI MPR dan
hasilnya, serta menolak pemilu yang diselenggarakan Habibie. HMI-DIPO juga
mengutamakan gerakan moral dan intelektual serta melakukan reformasi secara
damai, sedangkan HMI-MPO memadukan aksi intelektual dengan aksi jalanan dan
bersedia bentrok dengan aparat jika terpaksa. Sifat radikal yang menjadi ciri
khas HMI-MPO menjadi nafas perjuangannya.
4. HMI di Era
Presiden Abdurrahman Wahid Hingga Masa Presiden SBY
Di era presiden Wahid, HMI juga
berperan dalam menentang pemerintahan Gus Dur. Bersama dengan KAMMI dan
Konsorsium mahasiswa Indonesia, mereka mendukung pembentukan Pansus Buloggate
dan Bruneigate oleh DPR untuk menyelidiki keterlibatan KKN Presiden Wahid.
Yang menonjol dari HMI –DIPO pada
masa setelah reformasi justru bukan gerakannya, namun aktivitas para elitnya
yang dikeluhkan sebagai terlalu berorientasi politik. Para elit HMI menganggap
organisasi ini sebagai batu loncatan dalam karier politik mereka. Orientasi
idealisme HMI telah berubah menjadi ambisi kekuasaan. Hal ini telah mengusik
sejumlah alumni HMI hingga memberikan statement keras. (Alm.) Nurcholis Madjid
misalnya, pada tahun 2002 meminta HMI dibubarkan saja. Alasannya, orientasi
para kader HMI condong menjadi pejabat.
Alumni lain juga bersikap serupa.
Yasin Kara, anggota DPR dari Partai Amanat Nasional, dan Laode M Kamaluddin,
Presidium Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam menganggap
pergerakan HMI saat ini menjadi terlalu pragmatis dan cenderung untuk
kepentingan politik jangka pendek. Tidak lagi memikirkan kepentingan bangsa
kedepan. Pola kaderisasi yang dianut juga tidak berprospek jauh kedepan. Dalam
hal ini, pola kaderisasi yang dimaksud adalah doktrinasi terhadap kader-kader
baru.
Alumni-alumni baru HMI kini banyak
tersebar di partai-partai politik. Namun bukan berarti HMI kemudian menjadi
kekuatan besar yang memiliki banyak pengaruh di partai politik. Keterlibatan
mereka lebih sebagai kepentingan individu alumni. Dalam berbagai isu-isu
bangsa, HMI juga sepi aksi dan sikap. Elite organisasi justru sibuk memikirkan
nasib politik mereka sendiri. Bukan lagi memikirkan organisasi kedepannya.
Penyebaran alumni HMI juga seolah
terseparasi sesuai asal mereka. Misalnya, Alumni HMI-DIPO cenderung lebih
memilih Golkar dan partai-partai konservatif sebagai kendaraannya setelah
"lulus" dari HMI. Sedangkan HMI-MPO memilih partai yang cenderung
revolusioner dan "segar" semacam PKS dan partai lainnya. Alumni MPO
juga ditekankan untuk tidak bekerja sebagai pegawai negeri. Sikap
anti-pemerintah yang ditunjukkan MPO bukan berarti mereka hendak mendirikan
negara Islam. Mereka hanya ingin membangun sebuah peradaban yang menurut mereka
hanya mungkin dicapai jika dasar organisasi adalah Islam.
Barangkali banyak orang yang tidak menyangka bahwa
sesungguhnya Gus Dur punya kedekatan kepada HMI-MPO. Meski secara idiologis,
ada beberapa perbedaan yang cukup jauh antara Gus Dur dengan HMI-MPO, akan
tetapi lebih banyak kesamaan ide dan sikap politik antara keduanya. Yang saya
tahu ada perbedaan cukup tegas antara HMI-MPO dengan Gus Dur dalam soal Asas
Tunggal dan soal Israel. Tahun 80-an, saat asas tunggal diterapkan, Gus Dur
bersikap mendukung, sementara HMI-MPO secara tegas menentangnya. Demikian pula
dalam menyikapi Israel, Gus Dur lebih memilih membangun komunikasi dengan
mereka, sedangkan HMI-MPO tidak mengakui keberadaan Israel. Namun demikian,
dalam hal sejarah dan pemikiran-pemikiran politik banyak sekali kesamaan antara
HMI-MPO dan Gus Dur. Di mana letak kesamaannya?
Sejarah politik Gus Dur dan HMI-MPO adalah sama-sama
sejarah perlawanan terhadap rezim kekuatan Orde Baru. Keduanya pernah sama-sama
dimarjinalkan oleh rezim dan memilih bergerak diluar struktur negara. Jika Gus
Dur banyak bergerak melalui pemberdayaan masyarakt sipil, maka HMI-MPO
melakukan perlawanan dengan negara melalui masyarakat mahasiswanya. Penolakan
HMI-MPO terhadap asas tunggal pancasilan bukanlah penolakan terhadap pancasila
itu sendiri. Penolakan HMI-MPO terhadap penerapan Asas tunggal pancasila justru
merupakan sikap HMI-MPO memperjuangkan nilai-nilai Pancasila. Salah satu nilai
paling esensi dari Pancasila adalah penghargaan terhadap perbedaan pandangan
dan idiologi, akan tetapi Suharto dengan asas tunggalnya justru mengangkangi
Pancasila karena menafikan perbedaan. Maka sikap HMI-MPO yang mengambil jalur
perbedaan dengan tetap teguh mempertahankan Islam sebagai asas organisasi pada
hakikatnya adalah pembelaan terhadap pancasila itu sendiri. Dalam hal ini, maka
bisa dikatakan bahwa ada kesamaan pandangan antara HMI-MPO dengan Gus Dur.
Kesinergian perjuangan HMI-MPO dengan Gus Dur ini semakin
kentara pada awal tahun 90-an, ketika tekanan terdahdap HMI-MPO untuk
rekonsiliasi dengan HMI-Dipo semakin kuat datang dari alumni. Saat itu,
kader-kader HMI-MPO banyak yang menjaga jarak dengan tokoh-tokoh alumni HMI.
Sebagai kompensasinya, selain kader-kader HMI-MPO menjadi lebih dekat dengan
tokoh-tokoh pergerakan pewaris Masyumi seperti DDII dan tokoh-tokoh di luar HMI
lainnya. Tidak sedikit tokoh-tokoh HMI-MPO yang kemudian memiliki kedekatan
dengan Gus Dur. Sebagaimana diungkapkan oleh Lukman Hakim Hassan (Ketua Umum PB
HMI-MPO 1995-1997), awal tahun 1990-an rata-rata kader HMI Cabang Yogyakarta
justru mengidolakan Gus Dur sebagai panutan.
Pada saat reformasi 1998, pasca kejatuhan Suharto, ketika
kebanyakan organisasi kepemudaan Islam mendukung naiknya BJ Habibie sebagai
Presiden, HMI-MPO justru mengusulkan kepemimpinan presidium di mana salah satu
nama yang diajukan adalah Gus Dur. Tahun-tahun itu jelas sekali, HMI-MPO
mengalami kedekatan sikap politik dengan Gus Dur.
Selanjutnya, tahun 1999, saat pemilihan presiden, HMI-MPO
secara mendukung Gus Dur sebagai presiden. Dan ketika kemudian Gus Dur
diturunkan pada tahun 2001, selain Nahdliyyin, HMI-MPO adalah satu-satunya
organisasi Islam yang sepenuh hati membela Gus Dur. Pernyataan-pernyataan
politik Ketua Umum PB HMI-MPO, Yusuf Hidayat, waktu itu jelas sekali mendukung
Gus Dur.
Tahun-tahun selanjutnya, satelah Gus Dur lengser, kedekatan
Gus Dur dan HMI-MPO semakin nyata dalam bentuk sikap-sikap politik yang saling
koinsiden. Sebagai contoh sikap penolakan terhadap pemilu 2004 yang menaikkan
SBY untuk pertama kalinya. HMI-MPO adalah bagian dari sedikit elemen yang
menolak Pemilu 2004 dan Gus Dur adalah tokoh simbol penolakan pemilu tersebut.
HMI-MPO dan Gus Dur sama-sama tidak percaya pemilu 2004 dan sama-sama mengambil
sikap Golput. Alasan penolakannnya adalah karena pada pemilu tersebut adalah
karena keduanya tidak mempercayai KPU sebagai penyelenggara pemilu. Buktinya,
pasca pemilu 2004, hampir semua anggota KPU tertangkap KPK karena terbukti
korupsi. Alasan lain penolakan terhadap Pemilu 200 adalah karena masih banyak
aktor-aktor lama, pewaris orde baru, yang ikut bermain dalam pemilu. Hal ini
tidak baik, karena mereka akan menggunakan prosedur demokrasi (pemilu) untuk
mengangkangi demokrasi itu sendiri. Sementara alasan ketiga adalah masih
kuatnya pengaruh militer dalam bursa pemilihan calon presiden. Sebagai Pjs.
Sekjend PB HMI-MPO waktu itu, saya masih ingat sekali bersama Gus Dur tampil
dalam dialog Trans TV sebagai perwakilan kelompok Tolak Pemilu dan Golput.
Selanjutnya, mungkin juga tidak banyak orang tahu kalau
salah satu mantan orang terdekat Gus Dur yang membantunya mengolah isu-isu
gender adalah kader HMI-MPO. Meski sekarang tidak lagi bekerja secara formal
dengan keluarga Gus Dur, kader tersebut dulu pernah lama berkiprah dan bahkan
tinggal bersamanya komplek Pesantren Ciganjur sana.
Kedekatan dan kesamaan pandangan-pandangan politik antar
Gus Dur dan HMI-MPO ini tentu saja secara alamiah adalah suatu hal yang logis.
Selain kesamaan sejarah pernah melawan rezim Orde Baru, kesamaan metodologi
dalam mengambil sikap politik menjadikan HMI-MPO dan Gus Dur lebih sering
bersikap sama. Lalu metode pengambilan sikap politik seperti apakah yang
menjadikan HMI-MPO dan Gus Dur selalu sama? Keduanya menggunakan nilai-nilai
independensi sebagai pijakan dalam bersikap.
C. KONDISI HMI DI
MASA SEKARANG
1. Kondisi HMI di
Masa Sekarang
Banyak
tudingan yang mengatakan HMI tidak lagi mampu mengembangkan peran yang luas dan
terbuka seiring dengan perkembangan dinamika kampus, berbangsa, dan bernegara.
Eksistensinya kini dipertanyakan kembali dan dinilai tidak lebih sebagai
organisasi pinggiran yang bergerak dengan cara samar-samar. HMI seolah gagal
menciptakan apentura-apentura untuk dapat lolos dari jebakan birokrasi dan
kekuasaan-melalui kepemimpinan Orde Baru-hingga kini (di kutip dari tulisan
syarifuddin Azhar yang dimuat di dalam bataviase.co.id, opini pelita).
Realitas
ini cukup menyedihkan, khususnya bagi mereka yang pernah berkiprah dan memiliki
romantisme dengan organisasi ekstrauniversiter terbesar itu. Masa kejayaan HMI
yang mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, tampaknya akan sulit terulang
kembali. Bukan saja karena kekuatan HMI yang semakin surut, melainkan juga
karena ia tidak lagi menjadi organisasi prestisius yang berprestasi. HMI kini
secara bertahap menjadi sesuatu yang asing, bahkan di kalangan mahasiswa Islam
sekalipun.
Banyak
mahasiswa yang sekarang ini menjadi aktivis masjid kampus atau kelompok studi
agama enggan bergabung dengan HMI, meskipun mereka memiliki tujuan perjuangan
yang sama. Walaupun HMI pernah menjadi besar dan banyak alumninya menjadi
"orang besar" dalam pemerintahan, namun latar belakang historis dan
segala contoh yang baik dan buruk dari para pendahulunya tampak kurang menjadi
pendorong bagi anggota HMI sekarang untuk memacu prestasinya. Hal ini
memunculkan penilaian yang agak minus bahwa kader HMI lebih pintar berdebat,
sementara dalam karya nyata "nol besar".
Kalau
dulu banyak gagasan intelektual yang muncul dari para kadernya mewarnai
pemikiran pembaruan Islam di Indonesia, yang mencapai puncaknya pada era
1970-an ketika Nurcholish Madjid-sebagai salah satu contoh yang sangat menonjol
ketika itu-melontarkan gagasan mengenai modernisasi dan sekularisasi pemikiran
Islam, yang kemudian terkenal dengan ide "Islam Yes, Partai Islam
No".
Tantangan
zaman yang menjadi kecenderungan perkembangan global sekarang ini menuntut HMI
sebagai organisasi kemahasiswaan untuk dapat membaca dan memantau ke arah mana
kecenderungan itu berkembang. Dengan demikian, dapat secara tepat merumuskan
antisipasi terhadap kecenderungan global tersebut, baik perkembangan makrostruktur
politik maupun melalui mikrostruktur programnya.
Barangkali
yang juga menjadi penting adalah bagaimana mempersiapkan organisasi HMI untuk
selalu berpikir analitis, prediktif, dan visioner agar dapat berkiprah sesuai
dinamika kekinian dan tantangan masa mendatang.
2. Peranan HMI di
Masa Sekarang
Takkala kehausan para kader HMI
terhadap demokrasi mulai memudar, seperti yang pernah di tunjukkan oleh para
pendahulu HMI, akan banyak suara-suara yang bergemuruh yang menyerukan agar HMI
kembali ke masa jaya nya yang dulu, bukan tidak beralasan hal yang seperti itu
terjadi, karena berjuta-juta rakyat Indonesia dapat merasakan apa yang
diperjuangkan oleh HMI di masa dulu, namun ketika hal itu hilang di telan masa
di tengan generasi penerusnya tentu menjadi sebuah kekecewaan bagi rakyat sera
bagi pendahulu HMI.
Nurcholish Madjid pernah menggugat HMI dengan bahasa, ”Lebih
baik HMI dibubarkan!”.
Kata-kata Cak Nur itu seperti menampar wajah HMI. Tentu saja itu merupakan
kritik cukup telak terhadap HMI yang dianggapnya sudah menyimpang dari khitah
dan telah kehilangan roh perjuangan. Kita, sebagai kader HMI, punya tanggung
jawab dan tugas besar untuk memikirkan hal ini. Bukan saja sebatas wacana,
tetapi lebih pada grand planning sebagai sandaran epistemologis untuk
bertindak.
Ketua umum PB HMI Noer Fajriyansyah mengatakan bahwa HMI
dimasa sekarang seperti serigala ompong yang hanya bias meraung, akan tetapi
tidak mampu menggigit mangsanya (di kutip dari jambi ekspres online,opini Noer
Fajriansyah ).
Ketika kader-kader HMI berteriak ”tegakkan hukum”, di saat
yang sama kader HMI melabrak rambu-rambu hukum. Demikian pula, ketika HMI
mengumandangkan ”berantas korupsi”, di saat yang sama banyak kader atau alumni
HMI yang terlibat korupsi. Saya tidak bermaksud menguliti HMI dalam arti
mencoba menguak borok dan bobrok organisasi yang didirikan Lafran Pane itu
kepada publik. Saya juga tidak sedang mengadili HMI yang sudah mengalami
kejumudan dalam berpikir dan ber karya. Baik buruknya HMI adalah tanggung jawab
kita semua sebagai kader HMI. Apa yang saya ungkapkan ini adalah sebuah
kenyataan empiris yang mau tidak mau harus kita sikapi bersama secara baik dan
bijaksana sebagai bentuk tanggung jawab dan kecintaan kita terhadap HMI.
Maka mari secara bersama-sama sebagai kader HMI yang mempunyai
beban secara moral terhadap perkembangan HMI agar kita dapat mengembalikan
kejayaan yang pernah dicapai oleh pendahulu HMI, agar kita tidak hanya bisa
terlena dengan apa yang mereka capai, akan tetapi kita juga bisa memberikan
yang terbaik untuk HMI seperti apa yang telah mereka berikan kepada HMI, karena
kegagalan bukanlah milik orang yang tidak berhasil dalam melakukan sesuatu,
akan tetapi kegagalan mutlak milik orang yang tidak pernah berani melakukan
apapun untuk perubahan di masa yang akan dating. Berjayalah HMI yakin usaha
sampai.
3. Solusi Untuk
Kemajuan HMI di Masa Yang Akan Datang
Bila
para anggota HMI ingin menjadikan organisasi HMI menjadi Harapan Masyarakat
Indonesia sebagaimana harapan Jenderal Besar Soedirman tentu para anggota HMI
mesti kembali meneladani kepahlawanan dan keteladanan Prof. Drs. Lafran Pane
selaku pendiri HMI. Kesederhanaan dan ketulusan perjuangan dan
pengabdian Prof. Drs. Lafran Pane mestinya menjadi panutan bagi para anggota
HMI. Intelektual muslim generasi ketiga yang membesarkan organisasi yang
memiliki nama besar tidak saja bagi anggotanya, akan tetapi bagi bangsa
Indonesia. Prof. Drs. Lafran Pane benar-benar menjadikan
HMI menjadi Harapan Masyarakat Indonesia, tak pernah sekalipun mempergunakan
HMI yang didirikan dan dibesarkannya untuk kepentingan pribadi dan kepentingan
politiknya.Menjaga Independensi HMI menjadi anak kandung
umat dan Harapan Masyarakat Indonesia.
Berkali-kali
Prof. Drs. Lafran Pane diminta menjadi pejabat negara, bahkan jabatan Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) yang ditawarkan kepadanya berkali-kali beliau tolak,
karena beliau selaku pendiri HMI merasa khawatir akan berdampak bagi
independensi HMI. Bila akhirnya beliau menerima jabatan selaku anggota Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) bukan merupakan perwakilan partai politik manapun
tetapi kita mencatat bahwa Prof. Drs. Lafran Pane adalah satu-satunya anggota
Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang merupakan wakil dari organisasi mahasiswa
yaitu wakil Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dalam
suasana bangsa Indonesia yang tengah berduka ditimpa oleh berbagai bencana
patutlah bagi HMI untuk menggelar perhelatan akbarnya dalam suasana yang
sederhana diliputi oleh semangat generasi muda yang peduli pada bangsanya serta
jiwa-jiwa kepahlawanan bangsa Indonesia terutama kepahlawanan dan keteladanan
pendiri HMI Prof. Drs. Lafran Pane.
HMI
harus mampu mendiskripsikan lagi perjalanan organisasinya untuk dapat
meningkatkan keunggulan komparatif sumber daya manusia (SDM) yang dimilikinya.
Tentu saja, SDM sebagai khazanah intelektual yang dimilikinya itu tidak akan
dapat dikembangkan oleh HMI bila organisasi ini tercabut akarnya dari kampus
sebagai basis kekuatan intelektualitasnya. Dalam konteks ini, hemat kita, HMI
sekarang harus berupaya keras merebut kembali tradisi intelektual yang pernah
dimilikinya pada era 1960-an hingga awal 1970-an. Prinsip kembali ke kampus
(back to campus) harus dipupuk melalui berbagai format aktivitas kemahasiswaan.
Dalam hal ini orientasi kualitas harus dikedepankan daripada kuantitas.
Keberhasilan
dalam perumusan kembali atau reorientasi tujuan jangka panjang organisasi HMI
dapat terwujud jika HMI memiliki kemampuan dalam memahami, menguasai, dan
mengarahkan potensi kekuatan yang selama ini pernah dimiliki HMI, yakni
konsistensi-integralitas wawasan keislaman-kebangsaan, tradisi intelektual, dan
independensinya. Untuk mencapai tujuan besar yang dicita-citakan organisasi
HMI, barangkali perlu dikaji kembali lebih jauh kemungkinan HMI dapat
memosisikan dirinya sebagai lembaga pendidikan nonformal, tempat menempa
anggotanya menjadi insan akademis yang berkualitas di tengah umat dan
bangsanya.
Dengan
demikian, program kegiatan HMI tidak lagi masif, yang penuh dengan seremonial.
Sebab, posisinya akan menjadi inner power atau kekuatan intelektual
ummat Islam. Dengan kata lain, HMI akan menjadi semacam pusat unggulan (center
of excellence) dan bukan hanya merupakan centerpiece (perhiasan di
tengah meja). Dengan orientasi keislaman dan kekuatan intelektual, maka secara
operatif akan lahir kader HMI yang dinamis, terbuka, dan demokratis, serta
hanya tunduk pada kebenaran dari mana pun datangnya. Di sisi lain, semangat
untuk mengimplementasikan fungsi kekhalifahan mengharuskan HMI bersifat
inklusif dengan tetap mempertegas independensi organisasi.
Independensi
HMI yang selama ini telah teruji keberadaannya dan semboyan juangnya sebagai
"pemersatu umat dan bangsa" jangan sampai kendur. Artinya, meski
harus menyatu dan menjadi salah satu faktor dalam membangun dinamika umat dan
bangsa, jati diri dan wawasan keumatan serta kebangsaannya tidak larut dan
terseret ke dalam "sektarianisme" baru
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
awal mula didirikan, HMI sudah memiliki peranan penting bagi bangsa dan ummat
hal ini di buktikan dari tidak pernah absennya HMI dalam setiap pergerakan anak
bangsa dalam mewujudkan kemajuan bagi bangsa ini.
Diawali
pada masa orde lama di bawah naungan Presiden Soekarno yang pernah meminta HMI
menjadi bagian dari pengawal keamanan Negara, serta Soekarno pulalah yang
pernah berniat untuk membubarkan HMI karena sikap HMI yang tidak bisa menerima
sikapnya yang terlalu mengarah ke arah sekulerisme.
Dilanjutkan
pada masa orde baru dibawah naungan Presiden Soeharto, yang mana HMI mengalami
blunder secara internal yang di sebabkan oleh kebijakan pemerintah Soeharto
yang menerapkan sistem azas tunggal yaitu pancasila bagi seluruh ormas, maka
terbentuklah dualism HMI yaitu HMI-DIPO dan HMI-MPO yang kedua saling
berseberangan, bahkan hingga sekarang azas HMI telah kembali berubah seperti
semula sebagaimana awalnya sebelum terjadi perpecahan internal, namun keduanya
tidak juga mampu bersatu kembali hingga sekarang, mungkin Allah lah kelak yang
akan menyatukan keduanya.
Kemudian
pada era reformasi dibawah naungan presiden Habibie, kedua HMI tersebut kembali
berseberangan dalam menilik pemerintah Habibie, yang DIPO mendukung
pemerintahan Habibie sedangkan yang MPO jelas-jelas menolak Habibie karena
menganggap Habibie adalah antek-antek dari pada rezim Soeharto.
Pada
era Gusdur hingga sekarang hal diatas kembali di oertontonkan oleh HMI, namun
kali ini keterbalikannya, giliran DIPO yang tidak mendukung pemerinthan Gusdur
namun MPO lah yang mendukung Gusdur.
Lain
lagi dengan generasi penerus HMI dimasa sekarang, yang mulai melupakan tujuan
didirikannya HMI mereka bergerak tanpa batas, sehingga HMI yang mulia bersih
tanpa noda ini yang harus menaggung dosa yang mereke perbuat. Terlena dengan
pencapaian yang pernah dicapai oleh alumni sehingga tidak mampu memberikan
konstribusi yang besar bagi perkembangan HMI di masa sekarang.
Berilah
perubahan kepada HMI wahai kader semua, ingat lah pendahulu kita yang pernah
mendirikan HMI dengan cucuran keringat serta dengan air mata darah, tegakah
kita mengkhianati perjuangan mereka, HMI adalah organisasi mulia yang tujuannya
ikhlas lillahi ta’ala, jangan biarkan kita sendiri yang merusak HMI.
B. SARAN-SARAN
Sejarah panjang yang pernah dilalui HMI adalah bahan renungan bagi
seluruh generasi penerus, apakah di tangan kita HMI akan semakin Berjaya
ataukah kita akan mengkhianati amanah dari pendahulu kita dengan membiarkan HMI
lenyap di telan masa. Kita lah yang harus melakukan sesuatu agar HMI kembali
berjaya.
Menelaah kembali peran dan fungsi kelahiran HMI yang merupakan
organisasi tertua di Indonesia merupakan hal penting sebagai bahan instrospeksi
diri bagi seluruh generasi penerus, jangan sampai generasi penerus hanya bisa
terlena dengan pencapaian yang telah di capai oleh pendahulu HMI akan tetapi
tidak mampu memberikan konstribusi besar yang dapat membangun dan member
perkembangan bagi HMI serta bagi ummat dan bangsa.
Sejarah masa lalu harus dijadikan
cermin sekaligus otokritik pada masa kini. Dengan demikian, kita bisa
menjadikan sejarah sebagai alat untuk melakukan dialog dan analisis. Apa
pentingnya HMI punya sejarah emas kalau kenyataannya hari ini lembaran sejarah
itu hanya sebagai pengantar di forum-forum diskusi belaka.
Maka timbul sebuah harapan
yang menjadi tugas kita bersama sebagai kader HMI untuk mengembalikan
HMI ke masa kejayaannya, sebagaimana yang di amanatkan dalam konstitusi BAB II
Pasal 4 yaitu “ terbinanya insane akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan
islam dan bertanggung jawab atas terciptanya masyarakat adil dan makmur yang di
ridhai oleh Allah SWT. “ BERJAYALAH HMI, YAKIN USAHA SAMPAI”
DAFTAR PUSTAKA
KAHMI
Jawa Timur, Orde Baru dan Visi Masa Depan “sebuah
renungan untuk generasi penerus “ Jawa Timur: teknika desing & printing,
cetakan 1997
Munafrizal, Manan. Gerakan
Rakyat Melawan Elite, Yogyakarta : Resist Book, Cetakan Pertama, 2005
Sitompul,
Agussalim. Pemikiran HMI dan
Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Jakarta
: Integrita Press, 1997
Rusli, M. Karim. HMI
MPO Dalam pergulatan politik di Indonesia, Bandung: Mizan, 1997
Saleh Hasanuddin M. HMI dan Rekayasa Azas Tunggal Pancasila,
Yogyakarta ; kelompok studi lingkaran, 1996
Sitompul,
Agussalim. Indikator Kemunduran HMI,
Jakarta: Misaka galiza, 2005
Aritonang Diro, runtuhnya rezim soeharto, Pustaka
hidayah, Bandung 1999
Antonie C.A. Dake, Soekarno File
berkas-berkas Soekarno 1965-1967 ”kronologi suatu keruntuhan”, Jakarta: Aksara Taruna, 2005
Victor M.Fic pengantar John O Sutter. Kudeta 1 oktober 1965 “ sebuah studi
tentang konspirasi “, Jakarta: Buku
Obor Indonesia, 2005
. My Kadekoh. Analisis
Historis Gerakan New HMI, 2008 Diakses dari www.korkomhmiuii.multiply.
. Saleh
Hasanuddin M. HMI dan Rekayasa Azas
Tunggal Pancasila, Yogyakarta : kelompok studi lingkaran, 1996
. Admin. Kalla Rangkul Akbar
: Sambut Positif Islah HMI Dipo dan MPO. Dimuat di harian Kendari
. Akral Ghiffary. HMI, Umat
Islam dan The End Of History, 2007 Diakses dari www.hmiushuluddien.
multiply.com
. Budi Gunawan S. HMI dan
Kevakuman Ideologi, 2007 Diakses dari www.hmi-kab-bdg.web.id,
. M. Rusli Karim. HMI MPO Dalam pergulatan politik di Indonesia,
Bandung: Mizan, 1997
. Agussalim
Sitompul, Indikator Kemunduran HMI. Jakarta: Misaka galiza, 2005