KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Esa Yang senantiasa
memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita sekalian sehingga kita
dapat menjalankan aktivitas sehari-hari. Shalawat serta salam selalu terhatur
kepada Nabi dan Rasul kita, Rasul yang menjadi panutan semua ummat, yakni Nabi
Besar Muhammad SAW serta keluarga dan sahabat beliau yang telah membawa kita
dari jurang yang penuh kesesataan menuju sebuah kehidupan yang penuh
kebahagiaan dan kedamaian.
Suatu rahmat yang besar dari Allah
SWT yang selanjutnya penulis syukuri, karena dengan kehendaknya, taufiq dan
rahmatnya pulalah akhirnya penulis dapat menyelasaikan makalah ini guna
persyaratan untuk mengikuti Intermediate Training (LK II) Tingkat
Nasional Yang dilaksanakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jakarta
timur pada tanggal 21 Februari s/d 28 Februari 2011 di Graha Insan Cita. Adapun judul makalah ini adalah:
(Peran dan Perjuangan HMI di Indonesia)
Selanjutnya
penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada HMI Cabang Banda
Aceh dan juga rekan-rekan kader-kader HMI yang selalu berjuang, yang selalu
memberikan saran, koreksi dan motivasi yang sangat membangun. Dan juga tidak
lupa penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada Kanda-Kanda Alumni (KAHMI) yang
juga tidak luput memberi bantuan kepada penulis, dari segi moril maupun materil
serta ucapan terima kasih juga penulis sampaikan untuk semua kader HMI Cabang
Jakarta timur yang telah berjuang untuk mengadakan Latihan Kader (LK II) ini
dengan harapan dan tujuan yang sangat mulia.
Makalah ini merupakan hasil jerih payah penulis yang sangat
maksimal sebagai manusia yang tidak lepas dari salah dan khilaf. Namun penulis
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.
Jadi saran, kritik dan koreksi yang membangun sangat penulis harapkan dari
rekan-rekan semua.
Akhirnya, kepada Allah jualah kita memohon. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi kita sebagai penambah wawasan dan cakrawala pengetahuan.
Dan dengan memanjatkan do’a dan harapan semoga apa yang kita lakukan ini menjadi amal
dan mendapat ridha dan balasan serta ganjaran yang berlipat ganda dari
Allah SWT yang maha pengasih lagi
maha penyayang.
Billahittaufiq Wal Hidayah
Banda Aceh, 14 Februari 2011
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………………………………… ii
BAB I :
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang Masalah………………………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah………......................................................................... 2
C.
Tujuan
Penulisan……………………………………………………………………………….. 2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Peran
HMI di Indonesia……………………………………………………………………………….. 3
1.
Partisipasi
Politik HMI periode 1947 - 1960…………………………………………… 4
2.
Perjuangan HMI
Masa Orde Lama Dan Orde Baru………………………………… 5
HMI Masa Orde Lama…………………………………………………………………………….. 5
Peran HMI di Era Orde Baru…………………………………………………………………….. 6
B. Perjuangan HMI di Indonesia………………………………………………………….. 7
1.
Kondisi Islam Di Negara Indonesia Sebelum Terbentuknya HMI…………….... 7
2. Kondisi Perguruan Tinggi Dan
Mahasiswa Islam …………………………………. 9
3. Saat Berdirinya Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI)…………………………….... 9
4. Gagasan Pembaharuan
Pemikiran KeIslaman………………………………………. 10
5. Gagasan Dan Visi Perjuangan
Sosial Budaya………………………………..………. 10
6. Komitmen Ke-Islaman Dan Ke-Bangsaan Sebagai Dasar
Perjuangan HMI…... 11
C. HMI Solusi Kesejahteraan Umat ………………………………………………………. 12
1. HMI Menjawab
Tantangan Umat Di Zaman Modern……………………………. 12
2. Islam Tidak
Ketinggalan Zaman Dan Menjawab Tantangan Zaman.………. 15
BAB III :
PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………………………… 18
B. Sasaran………………………………………………………………………………. 19
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………... 20
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang Masalah
Ketika kita berbicara HMI dulu dan masa datang, maka kita
tidak akan terlepas dengan sejarah berdirinya HMI. Seorang mahasiswa, Lafran
Pane, mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tahun 1947
bersama rekan-rekan perjuangannya.
Mereka mendirikan HMI, antara lain karena ingin belajar tentang keislaman. Keberadaannya terus tumbuh dan berkembang di basis-basis
perguruan tinggi Islam, seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga
menghasilkan kader-kader yang berkualitas seperti, Nurcholis Madjid, Azyumardi
Azra, Komarudin Hidayat, Fachri Ali, Abudin Nata dan kader-kader terbaik
lainnya. Oleh karenanya, peran organisasi Islam ini bukan hanya menawarkan
pengajaran Islam secara khusus, tapi lebih jauh dari itu HMI ingin memberikan
pencerahan intelektual politik serta pemberdayaan potensi kader secara
menyeluruh.
Harapan Organisasi HMI dideklarasikan (antara lain)
sebagai organisasi mahasiswa yang independen, kader Umat dan Bangsa, dan tidak
menjadi underbouw sebuah partai politik, termasuk partai politik Islam. Wajar
jika Jenderal (Besar) Sudirman saat itu menyambut HMI sebagai Harapan
Masyarakat Indonesia karena dalam HMI berkumpul orang terpelajar, yang tentunya
diharapkan dapat memberi manfaat bagi masa depan bangsanya. Ada warna
ke-Islaman dan ke-Bangsaan sejak kelahirannya. Tidak mengherankan, ketika RI
menghadapi perang kemerdekaan melawan Belanda, mereka juga mendirikan pasukan
bersenjata yang dikenal sebagai Corp Mahasiswa. Dengan cita-cita pendirian HMI
seperti itu, harus diakui, tidaklah mudah memegang khittah HMI di tengah
lingkungan keumatan dan kebangsaan selama ini. Pluralism yang mewarnai umat dan bangsa tentu menyulitkan formula
HMI sebagai kader umat dan bangsa.
Dalam perjalanannya, HMI selalu ditarik ke kanan dan ke
kiri untuk berpihak kepada salah satu kekuatan umat dan bangsa. Sikap independen sering menjadi
pertaruhan tidak mudah. Tidak jarang HMI dikesankan sebagai tidak independen
lagi.
Oleh
karena itu merujuk kondisi ulyang telah penulis paparkan diatas maka penulis
ingin membahas denganlebih rinci tentang persoalan-persoalan tersebut dalam
makalah ini yang berjudul “Peran dan Perjuangan HMI di Indonesia”
B.
Rumusan
Masalah
Dinamika gerakan mahasiswa, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memang tidak
bisa dilepaskan begitu saja dari perannya sebagai gerakan pembaharuan. Sifat,
bentuk dan problematika yang dihadapinya sangat bercorak. Tentunya dengan ciri
khas tersendiri HMI menanggapi problematika Ke-Islaman dan Ke-Bangsaan dalam
menjawab tantangan zaman. Oleh karena itu permasalahan rumusan masalah yang
ingin penulis kaji adalah berkaitan dengan:
1.
Peran
HMI Di Indonesia
2.
Perjuangan HMI di Indonesia
3.
HMI
Solusi Kesejahteraan
Umat
Seperti telah disinggung di atas, bahwasanya HMI tidak bisa pisah dari dari
perannya begitu saja, dengan kekuatan retorika yang dimainkan dan menjawab
problematika Ke-Islaman dan Ke-Bangsaan dalam menjawab tantangan zaman yang
maju. Oleh karena itu, kajian ini untuk melihat dinamika seajarah gerakan dan
peran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sangat perlu di kaji.
C.
Tujuan
Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk menganalisa dan mengungkap
efek positif dan negatif sejarah
dan peran HMI di Indonesia untuk kemajuan Islam dalam beragama
dan bernegara, penulisan ingin mencoba
merealisasikan peran HMI dalam Kemajuan
Islam
di Indonesia dan mengungkap
dinamika dalam beragama dan berbangsa sehingga dapat direspon untuk mahasiswa atau
masyarakat dan mempraktekkannya serta menjaga perdamaian Indonesia dalam garis
Ke-Islaman.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Peran
HMI Di Indonesia
Karakteristik khas pola gerakan HMI sejak awal
berdirinya adalah tidak memisahkan gerakan politik dengan gerakan keagamaan.
Berpolitik bagi HMI adalah suatu keharusan, sebab untuk mewujudkan cita-cita
dan tujuan HMI haruslah dilakukan secara politis. Hal ini dikuatkan pula oleh
pendiri HMI Lafran Pane, bahwa bidang politik tidak akan mungkin dipisahkan
dari HMI, sebab itu merupakan watak asli HMI semenjak lahir.[1] Namun
hal itu bukan berarti HMI menjadi organisasi politik, sebab HMI lahir sebagai
organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan, yang menjadikan nila-nilai Islam
sebagai landasan teologisnya, kampus sebagai wahana aktivitasnya, mahasiswa
Islam sebagai anggotanya. Background kampus dan idealisme mahasiswa merupakan
faktor penyebab HMI senantiasa berpartisipasi aktif dalam merespon problematika
yang dihadapai umat dan bangsa, jadi wajar jika HMI tetap memainkan peran
politiknya dalam kancah bangsa ini. Selain itu, argumentasi lain dikemukakan
oleh Rusli karim[2]
dalam tulisannya;
“Walaupun HMI bukan organisasi politik, tetapi ia peka dengan permasalahan
politik. Bahkan kadang-kadang karena keterlibatannya yang sangat tinggi dalam
aktivitas politik ia dituduh sebagai kelompok penekan (pressure group)”.
Watak khas pola gerakan politik HMI ini yang
terinternalisasi sejak kelahirannya ini menjadikan HMI senantiasa bersikap
lebih berhati-hati dalam melakukan aktivitas organisasinya, sehingga
kehati-hatian inilah yang melahirkan sikap moderat dalam aktivitas politik HMI.
Lahirnya sikap moderat ini sebagai konsekuensi logis dari kebijakan HMI
memposisikan dirinya harus senantiasa berada diantara berbagai kekuatan
kepentingan agar HMI bisa lebih leluasa untuk melakukan respon serta
kritisismenya dalam mencari alternatif dan solusi dari problematika yang
terjadi disekitarnya. Namun sebagai konsekuensi logis pula bagi HMI, dengan
sikap moderat dalam aktivitas politiknya ini, munculnya kecenderungan sikap
akomodatif[3] dan
kompromis dengan kekuatan kepentingan tertentu, dalam hal ini penguasa. Sikap
politik HMI dalam proses kesejarahannya memperlihatkan dinamika yang cukup
menarik untuk dikaji lebih dalam, terutama kaitannya antara sikap politik HMI
dengan konsisi sosial politik yang terjadi pada masa tertentu. Sedikitnya ada
dua faktor yang mempengaruhi pola gerakan HMI, yaitu;
Ø Faktor internal, faktor ini
berupa corak pemikiran keIslaman-keIndonesiaan yang dipahami HMI dan kultur
gerakan HMI yang dibentuk sejak kelahirannya
Ø Faktor eksternal. HMI yang
menegaskan dirinya sebagai organisasi berbasis Islam dengan ajaran Islam
sebagai landasan nilai dalam gerakannya, tentunya tidak bisa dilepaskan dari
komunitas Islam. HMI pun menegaskan dirinya sebagai anak kandung umat Islam
yang senantiasa akan berjuang bersama-sama umat dan ditengah-tengah umat dalam
memperjuangkan terciptanya masyarakat adil makmur yang
diridhai Allah SWT (baldatun toyyibatun warabbun ghafur).
Oleh karena itu, pola gerakan HMI akan banyak sekali dipengaruhi oleh
kondisi sosio-aspiratif umat Islam. Karena sosio-aspiratif ini pasti
berbeda-beda sesuai dengan perkembangan jaman, maka pola gerakan HMI dalam
konteks ini pun akan berubah sesuai dengan kondisi sosio - aspiratif umat Islam
1. Partisipasi Politik HMI periode
1947 - 1960
Rumusan pemikiran politik HMI sudah ditegaskan
secara jelas sejak kelahiran HMI pada 05 Februari 1947 di Yogyakarta, yaitu
dalam rumusan tujuan awal berdirinya HMI. Dalam tujuan awal pembentukan HMI
disebutkan;
Ø Mempertahankan Kemerdekaan Negara
Republlik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia
Ø Menegakkan dan mengembangkan
ajaran Agama Islam[4]
Dari akar sejarahnya itu kelihatan bahwa HMI
memainkan sekaligus dua fungsi dan perannya, gerakan keIslaman dan gerakan
keIndonesiaan, yang dimanifestasikan dalam bentuk gerakan politik. Perjuangan
penegakan ajaran Islam dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia mustahil
terwujud bila HMI tidak berpolitik. Pemaknaan yang lebih dalam terhadap tujuan
HMI dikemukakan oleh Eggi Sudjana[5] dalam
tulisannya; Kedua anak kalimat tersebut mengandung dua makna tentang peranan
HMI sejak kehadirannya di Indonesia. Makna strategis, yaitu bahwa Islam adalah
agama dakwah yang harus disampaikan pada seluruh umat manusia. Merujuk pada
makna ini, tentu dakwah tidak akan berjalan lancar tanpa adanya stabilitas
politik serta keteraturan wilayah. Untuk itu langkah yang amat strategis bagi
realisasi dakwah islamiah adalah melalui perjuangan pertahanan Indonesia
sebagai tanah air yang merdeka dan bebas dari penjajahan. sedangkan makna
sosiologis adalah bahwa mahasiswa muslim yang mencintai, memiliki dan memihak
serta memaknai keberlangsungan eksistensi negara Indonesia dengan spirit
atau ruhul Islam, pada gilirannya akan melahirkan peradaban masyarakat
muslim yang tipikal keIndonesiaan.[6]
Walaupun pola gerakannya tidak bisa dipisahkan dari
politik, bukan berarti HMI terlibat secara aktif dalam politik praktis atau
bahkan berafiliasi dengan partai politik. Kesalahan memahami pola gerakan HMI
ini terjadi pada masa ini (Orla), dimana HMI dianggap anak kandung (underbow)
partai Masyumi, padahal HMI dengan independensinya tidak terikat secara formal
(organisatoris) dengan partai politik manapun. Kedekatan dengan partai politik
atau ormas hanyalah karena HMI memiliki persamaan aspirasi “keIslaman dan
semangat modernis” dengan organisasi tersebut. Inilah yang dimaknai oleh HMI
sebagai independensi etis.[7]
2. Perjuangan HMI Masa Orde Lama Dan
Orde Baru
v HMI Masa Orde Lama
HMI pada Orde Lama berasaskan Islam, namun tidak
berencana mendirikan negara Islam. Bahkan, salah satu tokoh HMI, Dahlan
Ranuwihardjo (ketua umum PB HMI 1951-1953) pernah berdebat dan mengusulkan
kepada presiden Soekarno untuk menolak negara Islam dan menerima negara
nasional atau NKRI. Sikap intelektual HMI ini bersifat independen.
Menjelang pemilu 1955 gerakan mahasiswa terbagi
menjadi kiri (isu utama anti-kapitalisme, anti-nekolim dan anti-fasisme) dan
kanan (isu anti-komunis & anti kediktatoran). Gerakan kiri misalnya GMNI
dan CGMI yang berafiliasi dengan PNI dan PKI, sedangkan gerakan kanan misalnya
HMI yang diindikasikan berafiliasi dengan Masyumi. Menjelang demokrasi
terpimpin, bandul kekuasaan di bawah Soekarno semakin di sebelah kiri sehingga
kelompok mahasiswa kanan mengalami kekalahan. Padahal, sejak diberlakukannya
demokrasi terpimpin, gerakan mahasiswa mengalami ideologisasi yang juga terjadi
pada semua organisasi pergerakan. Organisasi yang sesuai dengan ideologi negara
dapat berkembang, sedangkan organisasi mahasiswa yang berseberangan dengan
ideologi negara terkucilkan atau bahkan dicap (kontrarevolusi). Presiden
Soekarno sempat akan membubarkan HMI karena menilai HMI melakukan tindakan anti
revolusi, reaksioner, aneh, menjadi tukang kritik, liberal dan terpengaruh oleh
cara berpikir Barat.
Pertentangan semakin tajam hingga menjelang
peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober) 1965, di mana kekuasaan Soekarno mulai
goyah. HMI terlibat bersama kelompok yang banyak berasal dari kaum kanan
berkongsi dengan militer mulai mengorganisasi diri untuk menggulingkan
presiden. Pertarungan ini akhirnya dapat dimenangkan dengan tergulingnya
Soekarno berikut gerakan mahasiswa dan partai politik yang mendukung ideologi
Bung Karno.[8]
v Peran HMI di Era Orde Baru
HMI DIPO Pada masa Orba, ada
kecenderungan yang amat kuat dari alumni HMI DIPO yang berpengaruh untuk masuk
dalam lingkup kekuasaan. Jabatan menteri menjadi mudah diraih bagi orang yang
pernah menakodai HMI. HMI yang menjadi bagian pendiri Orde Baru mengambil peran
secara efektif sebagai sumber rekruitmen kepemimpinan nasional yang kemudian
dikenal dalam doktrin organisasi; ”HMI sebagai sumber insani pembangunan”.
Banyak ditemui tokoh HMI yang mengisi birokrasi kekuasaan sehingga HMI ini
tidak lagi menampilkan sosok herois yang terlibat penuh dalam pergerakan
mahasiswa seperti ditunjukkan oleh para pendahulunya. Kolaborasi penguasa Orde
Baru dengan mantan aktivis mahasiswa, termasuk alumni HMI, berdampak besar
terhadap peran HMI yang hampir-hampir absen dalam setiap momentum kebangkitan
gerakan mahasiswa.
Gerakan HMI-DIPO pun senada dan
seirama dengan penguasa. Jadi, sulit untuk menemukan hal-hal yang menonjol dari
HMI DIPO. Kritik terhadap pemerintahan nyaris tidak ada. Dan kegiatan yang
dilaksanakan DIPO cenderung normatif, seakan menjauh dari idealisme seperti
pada 20 tahun awal berdirinya.
HMI-MPO adalah sempalan HMI yang
dianggap ilegal oleh pemerintah. Di masa Orba, organisasi ini ditekan dan
dianggap sebagai "organisasi terlarang". Sekretariatnya terus dipantau
oleh intelejen, kegiatannya direpresi, pendapatnya dipendam secara paksa. Dalam
kasus ini, cukup sulit untuk mengatakan sejauh mana peranan HMI-MPO pada masa
Orba. Kegiatan mereka berkisar di masalah dakwah secara sembunyi-sembunyi di
mushala-mushala kampus dan kampung yang menjadi konsentrasi pondokan mahasiswa.
Yang mereka lakukan selama itu adalah membangun opini internal turun temurun
mengenai kebobrokan orde baru. Selain itu juga ada fungsi regenerasi dengan
menanamkan semangat dan cita-cita HMI pada saat awal didirikan, garis
perjuangan organisasi, dan lain sebagainya. Bisa disimpulkan, dari kegiatan
HMI-MPO di masa orde baru terdapat usaha untuk mempertahankan idealisme dan
semangat organisasi ditengah paksaan untuk mengakui asas tunggal Pancasila dan
represifitas sebagai akibat pembangkangan mereka. Mereka tidak melakukan
kegiatan yang menonjol bukan karena mereka tidak mau, tetapi karena mereka
tidak memiliki sumber daya dan kesempatan untuk melakukan hal itu. Bergerak
sedikit saja, bisa-bisa salah satu aktivis mereka hilang tak jelas
keberadaannya. Ini yang diwaspadai untuk menghindari pembubaran secara paksa
oleh pemerintah.
B.
Perjuangan HMI
di Indonesia
1. Kondisi Islam Di Negara Indonesia Sebelum
Terbentuknya HMI
Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI merupakan suatu
organisasi yang bernafaskan Islam dan bersifat independen atau bebas dan
merdeka tidak tergantung dan memihak dengan kelompok atau golongan tertentu.
HMI telah berdiri sejak 5 februari 1947 dan sampai sekarang organisasi ini masih
berkiprah dan terus berkembang ke berbagai Universitas yang dimana suatu
Universitas tersebut terdapat mahasiswa Islam maka di Universitas tersebut
terdapat organisasi HMI ini, organisasi ini sangatlah luas seiring dengan
banyaknya Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta yang ada di Indonesia.
Organisasi ini merupakan suatu organisasi pengkaderan dimana bertujuan
terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan
bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah
SWT.
Secara garis besar sebelum terbentukya organisasi ini, terjadinya
kemunduran umat Islam pada waktu itu baik dari segi pemikiran dll, di
Indonesia, dan hal itulah yang membuat organisasi HMI ini terbentuk yang
diprakarsai oleh Lafran Pane, ia seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam),
kini UII (Universitas Islam Indonesia) yang masih duduk ditingkat I yang ketika
itu genap berusia 25 tahun dan untuk melakukan suatu gerakan pembaharuan ketika
itu. Seiring dengan berjalannya waktu dimulai sebelum terbentuknya HMI sampai
era reformasi sekarang, HMI telah melewati banyak fase atau tahap dalam
perkembangannya seperti di jelaskan di atas sehingga kini HMI tetap dan terus
menjalankan syariat organisasinya yang nasionalis dan tetap bernuansa Islam,
sehingga kader-kader HMI sekarang menjadi seorang muslim yang nasionalis,
berintelektual yang sekaligus menjunjung tinggi asas-asas keIslaman di
Indonesia agar membuat Negara ini bangkit dan terus maju dalam pembangunan baik
dalam segala aspek manapun, dan untuk menunjukkan kepada Negara luar khususnya
Negara non-muslim bahwa Indonesia sebagai Negara dengan umat muslim terbanyak
di dunia bisa membuat rakyat dan negaranya maju dalam segala bidang dan tetap
menjunjung tinggi asas-asas keislaman.
Sebagai Mahasiswa atau kaum intelektual di masa sekarang, dengan sifat
keindependen dari HMI ini kita harus selalu dituntut untuk mengambil sikap
berani, kritis, adil, jujur dan selalu berpikir obyektif dan rasional. Dengan
sifat independen inilah Mahasiswa harus mampu mencari, memilih dan menempuh
jalan atas dasar keyakinan dan kebenaran, maka kader-kader HMI haruslah
berkualitas karena itu merupakan suatu modal untuk meningkatkan mutu dari kader
HMI sehingga mampu berperan aktif pada masa sekarang dan mendatang. Dengan mengetahui
sejarah terbentuknya organisasi ini pada masa lalu, kita dapat mengetahui
semangat juang HMI. Merupakan sebuah tonggak bagi HMI untuk meneruskan
perjuangan pencipta dan para pendahulu di HMI agar selalu terciptanya hari esok
yang lebih baik. Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di dunia saat itu,
umat Islam berada dalam cengkaraman nekolim barat. Penjajah memperlakukan umat
Islam sebagai masyarakat kelas bawah dan diperlakukan tidak adil, serta hanya
menguntungkan kelompok mereka sendiri atau rakyat yang sudah seideologi dengan
mereka.
Umat Islam Indonesia hanya mementingkan kehidupan akhirat, dengan
penonjolan simbolisasi Islam dalam ubudiyah, sebagai upaya kompensasi
atas ketidakberdayaan untuk melawan nekolim, sehingga pemahaman umat tidak secara
benar dan kaffah. Bahkan ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa pintu ijtihad
telah ditutup, hal ini menyebabkan umat hidup dalam suasana taqlid dan
jumud. Selain itu umat Islam Indonesia berada dalam perpecahan berbagai
macam aliran/firqah dan masing-masing golongan melakukan truth claim,
hal ini menyebabkan umat Islam Indonesia tidak kuat akibat kurang persatuan di
kalangan umat Islam di Indonesia.
2. Kondisi Perguruan Tinggi Dan Mahasiswa Islam
Perguruan tinggi adalah tempat untuk menuntut ilmu yang akan menghasilkan
para pemimpin untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Selain itu
perguruan tinggi adalah motor penggerak perubahan, dan perubahan tersebut
diharapkan menuju sesuatu yang lebih baik. Begitu pentingnya perguruan tinggi,
maka banyak golongan yang ingin menguasainya demi untuk kepentingan golongan
tersebut.
Sejalan dengan perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan yang strategis
tersebut, ada beberapa faktor dominan yang menguasai dan mewarnai perguruan
tinggi dan dunia kemahasiswaan, antara lain sistem yang diterapkan khususnya di
perguruan tinggi adalah sistem pendidikan barat yang mengarah pada sekularisme
dan dapat menyebabkan dangkalnya agama atau aqidah dalam kehidupan.
Selain itu adanya organisasi kemahasiswaan yang berhaluan komunis dan ini
menyebabkan aspirasi Islam dan umat Islam kurang terakomodir.
Faktor-faktor di atas adalah ancaman yang serius, karena menyebabkan
masalah dalam hidup dan kehidupan serta keberadaan Islam dan umat Islam.
Mahasiswa Islam kurang memiliki ruang gerak karena berada dalam sistem yang
sekuler dan tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan harus menghadapi tantangan
dari mahasiswa komunis yang sangat bertentangan dengan fitrah manusia
dan bertentangan pula dengan ajaran Islam. Jelas sudah bahwa mahasiswa Islam
sangat sulit untuk bergerak memperjuangkan aspirasi umat Islam.
3. Saat Berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
HMI lahir pada saat umat Islam Indonesia berada dalam kondisi yang
memprihatinkan, yaitu terjadinya kesenjangan dan kejumudan pengetahuan,
pemahaman, penghayatan ajaran Islam sehingga tidak tercermin dalam kehidupan nyata. Pada saat HMI berdiri, sudah ada organisasi kemahasiswaan, yaitu
Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), namun PMY didominasi oleh partai
sosialis yang berpaham komunis. Akibat didominasi oleh partai sosialis maka PMY
tidak independen untuk memperjuangkan aspirasi mahasiswa, maka banyak mahasiswa
yang tidak sepakat dan tidak bisa membiarkan mahasiswa terlibat dalam
polarisasi politik. Sebagai realisasi dari keinginan tersebut maka di
Yogyakarta pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan tanggal 5 Februari 1947 sebuah organisasi kemahasiswaan, yaitu Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) sebagai organisasi independen dan sebagai anak umat dan anak
bangsa.
4. Gagasan Pembaharuan Pemikiran KeIslaman
Untuk melakukan pembaharuan dalam Islam, maka pengetahuan, pemahaman,
penghayatan dan pengamalan umat Islam akan agamanya harus ditingkatkan,
sehingga dapat mengetahui dan memahami ajaran Islam secara benar dan utuh.
Kebenaran Islam memiliki jaminan kesempurnaannya sebagai peraturan untuk
kehidupan yang dapat menghantarkan manusia kepada kebahagian dunia dan akhirat.
Tugas suci umat Islam dalah mengajak umat manusia kepada kebenaran Illahi
dan kewajiban umat Islam adalah menciptakan masyarakat adil makmur material dan
spiritual. Dengan adanya gagasan pembaharuan pemikiran keislaman, diharapkan
kesenjangan dan kejumudan pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan
ajaran Islam dalpat dilakukan dan dilaksanakan sesuai dengan ajaran Islam.
Kebekuan pemikiran umat Islam telah membawa pada arti agama yang kaku dan
sempit, tidak lebih dari agama yang hanya melakukan peribadatan. Al-Qur’an
hanya dijadikan sebatas bahan bacaan, Islam tidak ditempatkan sebagai agama
universal. Gagasan pembaharuan pemikiran Islam ini pun hendaknya dapat
menyadarkan umat Islam yang terlena dengan kebesaran dan kejayaan masa lalu.
5. Gagasan Dan Visi Perjuangan Sosial Budaya
Ciri utama masyarakat Indonesia adalah kemajemukan sosial budaya,
kemajemukan tersebut merupakan sumber kekayaan bangsa yang tidak ternilai,
tetapi keberagaman yang tidak terorganisir akan mengakibatkan perpecahan dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan awal
saat HMI berdiri juga tidak terlepas pada gagasan dan visi perjuangan sosial
budaya, yaitu:
Ø Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi
derajat rakyat Indonesia
Ø Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam
Dari tujuan tersebut jelaslah bahwa HMI ingin agar kehidupan sosial budaya
yang ada menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia guna
mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih. Untuk menegakkan dan mengembangkan
ajaran Islam pun harus dipelajari kondisi sosial budaya agar tidak terjadi benturan kultur.
Masyarakat muslim Indonesia yang hanya memahami ajaran Islam sebatas ritual
harus diubah pemahamannya dan keadaan sosial budaya yang telah mengakar ini
tidak dapat diubah serta merta, tetapi melalui proses panjang dan bertahap.
6. Komitmen Ke-Islaman Dan Ke-Bangsaan Sebagai Dasar Perjuangan HMI
Dari awal terbentuknya HMI telah ada komitmen keumatan dan kebangsaan yang
bersatu secara integral sebagai dasar perjuangan HMI yang dirumuskan dalam
tujuan HMI yaitu:
Ø Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan
mempertinggi derajat rakyat Indonesia yang didalamnya terkandung wawasan atau
pemikiran kebangsaan atau ke-Indonesiaan
Ø Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam yang
didalamnya terkandung pemikiran ke-Islaman
Komitmen tersebut menjadi dasar perjuangan HMI didalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Sebagai organisasi kader, wujud nyata perjuangan HMI dalam
komitmen keumatan dan kebangsaan adalah melakukan proses perkaderan yang ingin
menciptakan kader berkualitas insan cita yang mampu menjadi pemimpin yang
amanah untuk membawa bangsa Indonesia mencapai asanya. Komitmen keislaman dan kebangsaan sebagai dasar perjuangan masih melekat
dalam gerakan HMI. Kedua komitmen ini secara jelas tersurat dalam rumusan tujuan
HMI (hasil Kongres IX HMI di Malang tahun 1969) sampai sekarang,
“Terbinanya
insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertanggung
jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT”.
Namun kedua komitmen itu tidak dilakukan secara institusional, melainkan
dampak dari proses pembentukan kader yang dilakukan oleh HMI.
C.
HMI
Solusi Kesejahteraan Umat
1.
HMI
Menjawab Tantangan Umat Di Zaman Modern
Di Indonesia
sendiri, Fachry Ali dan Bahtiar Effendy menyatakan tentang tipologi gerakan intelektualisme
Islam neo-modernisme. Gerakan pemikiran neo-modernisme merupakan
gerakan pemikiran Islam yang muncul di
Indonesia sekitar tahun 1970-an. Gerakan ini lahir dari tradisi modernisme Islam yang terdahulu dan telah cukup mapan
di Indonesia. Akan tetapi ia memakai
pendekatan yang lebih khas dari sisi konsepsi maupun aplikasi ide-ide
Nurcholish
Madjid merupakan tokoh gerakan intelektual ini. Dengan cerdas ia memadukan cita-cita liberal
dan progresif dengan keimanan yang saleh.
Melalui konsep rasionalitas, Cak Nur, sapaan akrabnya, menyatakan arti pentingnya untuk menelusuri dan memahami
pengetahuan manusia yang relative dan
terbatas. Hal
ini menyangkut persoalan hubungan kedudukan antara
agama dan akal yang telah lama menjadi bahan perdebatan para teolog sejak dulu. Karena pengetahuan manusia yang terbatas
itulah maka kebenaran yang bersifat mutlak tidak dapat dicapai oleh manusia. Selanjutnya Cak Nur menawarkan satu
bentuk teologi inklusif, dimana inti ketajaman teologi ini adalah kesadaran
teologis yang mensyaratkan adanya ruang kebebasan berpikir sebagai wujud
komitmen ketauhidan seseorang. Ruang
kebebasan inilah yang menjadi substansi bagi pembaharuan dan kemajuan dalam
Islam. Sikap keterbukaan untuk mau menerima kebenaran dan perbedaan dari
orang lain.
HMI telah
menjadikan pemikiran neo-modernisme ini sebagai referensi utama bagi pemahaman
teologinya. Lewat
pemikiran-pemikiran Cak Nur yang juga mantan ketua PB HMI inilah konsep Islam
Keindonesiaan ditawarkan oleh kader-kader HMI.
Lain halnya
dengan PMII, ormas mahasiswa Islam ini lebih mengembangkan teologi yang lebih
radikal bila dipandang oleh sebagian besar umat Islam pada umumnya. Pada
mulanya PMII memakai doktrin teologi Aswaja (ahlussunnah wal jama’ah) sebagi doktrin
resmi yang dipakai NU dan masyarakat Islam Indonesia pada umumnya.
Doktrin teologi Aswaja lebih banyak berbicara mengenai takdir manusia yang
telah ditentukan Allah, dan kedudukan manusia sebagai makhluk. Namun akhir-akhir ini tradisi kritik
yang berkembang di PMII tidak hanya menggugat kemapanan struktur sosial, ekonomi dan politik
yang ada, tapi termasuk doktrin teologi Aswaja. PMII
dengan berani menggulirkan perlunya pembacaan kembali konsep Aswaja tersebut.
Dewasa ini
terdapat loncatan perubahan yang cukup menyolok dikalangan kader-kader PMII. Sebagai angkatan muda NU, mereka
sebagian besar berasal dari kalangan tradisional, kelompok masyarakat yang
sering diidentikkan dengan konservatifisme sosial lewat apresiasi yang rendah
terhadap hal-hal baru. Mereka
juga dikenal dengan keterbelakangan kultural karena orientasi hidup
mereka dipercayai hanya sebatas penerapan dan pemeliharaan nilai-nilai lama
yang teguh dipegangi dan diyakini. Pandangan ini mulai bergeser ketika
PMII kini memiliki pandangan intelektual yang lebih terbuka, peka dan peduli
terhadap masalah keagamaan dan kehidupan social. Konsekuensi dari keterbukaan ini bagi
PMII adalah sikap menerima perbedaan, akomodatif, dan toleran.
Tradisi berpikir
kritis terhadap segala macam bentuk kemapanan yang ada, telah membawa PMII
untuk melakukan kajian terhadap kondisi kehidupan sosial, termasuk
kebekuan-kebekuan yang dialami agama. Doktrin-doktrin ajaran agama saat
ini, menurut PMII, sudah tidak relevan lagi dengan perubahan jaman. Karena
ajaran agama yang ada telah tercerabut dari keaslian akar tradisi
masyarakat. Ajaran agama tidak tertanam dalam kesadaran masyarakat.
Untuk itu perlu dilakukan tafsir ulang terhadap doktrin-doktrin ajaran agama,
bahkan sampai keakar-akarnya yaitu dimensi teologis.
Pada tataran
teologis PMII lebih memandang bahwa semua agama akan bermuara pada satu titik
yang sama yakni Tuhan. Terdapatnya agama-agama yang berbeda merupakan
suatu bentuk keanekaragaman jalan atau cara yang mengandung makna kebenarannya
sendiri-sendiri, dan keanekaragaman ini merupakan fitrah yang dikehendaki
Tuhan. Yang terpenting bagi agama saat ini adalah harus membawa
kemanfaatan nyata bagi kesejahteraan manusia.
Ahmad Baso,
salah seorang senior di PB PMII mengungkapkan suatu gagasan mengenai kritik
wacana agama. Kritik agama Baso adalah Islam sebagai sistem kultur dan
ideologi. Titik
perhatiannya diarahkan pada kritik nalar atau cara-cara berpikir yang
secara sistemik membentuk pola pikir penganutnya secara sadar maupun tidak
sadar. Lebih lanjut Baso mencontohkan kebekuan
tradisi pembaharuan dalam pemikiran tokoh-tokohnya, baik itu pada diri
Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, maupun dalam pemikiran Abdurrahman
Wahid. Makna “ISLAM
LIBERAL”
dalam pemikiran Nurcholish Madjid, hanya berhenti pada tingkat wacana.
Gagasan tersebut tidak bisa diterjemahkan secara praksis dalam kehidupan umat
di lapisan bawah.
KAMMI yang dilahirkan oleh para aktivis Lembaga Dakwah
Kampus memiliki corak pergerakan yang khas. Jaringan mereka sangat luas
dan telah ada hampir diseluruh Perguruan Tinggi di Indonesia. Tidak
mengherankan jika pada usia yang masih muda KAMMI di puji banyak kalangan
sebagai ormas mahasiswa Islam tersolid saat ini. Kehadiran massa dalam
jumlah besar di setiap aksinya, memperkuat daya tekan KAMMI dalam mendukung
gerakan reformasi.
Pada tataran teologis KAMMI memiliki doktrin pemahaman yang
cukup kuat bahwa Islam sebagai suatu sistem yang kaffah merupakan solusi
terbaik dalam menjawab tantangan kemanusian. Bagi KAMMI, Islam tidak
hanya berbicara mengenai pribadi individu, tapi Islam juga mengatur juga
tentang hubungan sosial. Karena itu kemenangan Islam dalam keyakinan
KAMMI adalah suatu keniscayaan.
Tradisi pendekatan wacana yang berkembang di KAMMI adalah
upaya pencarian keabsahannya gerakannya melalui teks-teks suci. Hampir di
setiap kali muncul wacana pemikiran KAMMI akan selalu diikuti sumber
pembenarannya dari teks Al Qur’an dan Hadits. Pembacaan terhadap teks-teks suci
tersebut telah memberikan semangat juang (ghirah) tersendiri bagi KAMMI. Pada
akhirnya, kontekstualisasi teks dengan realitas sosial sekarang mendorong KAMMI
berkiprah lebih banyak di bidang pelayanan sosial, pendidikan politik, dan
advokasi umat.
2.
Islam
Tidak Ketinggalan Zaman Dan Menjawab Tantangan Zaman
Tantangan
zaman, dapat diartikan munculnya fakta, keadaan, atau problem baru seiring dengan perkembangan waktu.
Misalnya, Dulu tidak terbayang ada sarana komunikasi dan informasi yang canggih seperti internet saat ini.
Dengan adanya internet, berarti ada tantangan
zaman. pergaulan bebas yang liar di kalangan muda-mudi, sekarang makin menggila. Ini tantangan zaman. Kita umat Islam dulu
memiliki sistem Khilafah sebagai institusi
yang memungkinkan adanya kehidupan Islam,
tetapi pada tahun 1924 Khilafah diluluhlantakkan
oleh Mustafa Kamal yang murtad. Tiadanya Khilafah, adalah tantangan zaman. Sekarang penguasa negeri-negeri Islam telah
mencampakkan ideologi Islam, menganut
dan menerapkan ideologi Kapitalisme, serta
menjadi agen-agen yang setia bagi negara-negara penjajah yang kafir. Ini semua tantangan zaman
Setiap
tantangan, pasti butuh jawaban dan penyelesaian. Dalam hal ini, Islam sebagai
ideologi sempurna secara potensial menyediakan jawaban-jawaban bagi segala
masalah atau persoalan yang timbul di tengah manusia.[9] menguraikan secara ringkas metode
(thariqah) Islam untuk memecahkan masalah, yaitu memahami fakta persoalan
sebagaimana adanya, lalu memberikan solusi padanya. Solusi ini bisa berupa
Syariat Islam bila persoalannya berkaitan dengan hukum-hukum syara’, dan bisa pula berupa cara (uslub) dan
sarana (wasilah) tertentu jika persoalan yang dihadapi tidak secara langsung
berhubungan dengan hukum syara’,
misalnya teknik dalam pertanian, kedokteran, kesehatan, dan sebagainya.[10]
Taqiyyuddin An Nabhani menjelaskan metode Islam yang harus ditempuh para
mujtahidin untuk memecahkan persoalan. Pertama, mempelajari dan memahami
problem yang ada (fahmul musykilah). Kedua, mengkaji nash-nash syara’ yang bertalian dengan problem tersebut
(dirasatun nushush). Ketiga, mengistinbath hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ untuk menyelesaikan persoalan yang ada.
Metode
itulah yang dapat kita gunakan untuk menjawab setiap tantangan zaman. Secara
ringkas, Islam menjawab tantangan zaman dengan cara memberikan pemecahan
terhadap problem-problem baru yang muncul. Inilah pengertian yang benar
mengenai bagaimana Islam menjawab tantangan zaman yang terjadi. Dengan demikian, jelas tidak betul
pendapat yang mengatakan bahwa dalam menjawab tantangan zaman. Islam menempuhnya dengan cara
beradaptasi, menyesuaikan diri, atau mengubah hukum-hukumnya agar selaras
dengan tuntutan keadaan. Dalihnya, Islam itu luwes, fleksibel, tidak kaku,
tidak ekstrem, tetapi moderat, lunak, dan selalu bersikap kompromistis dengan
realitas. Dalih batil itu kadang juga dilengkapi dengan kaidah ushul fiqih yang
fatal kekeliruannya:
Laa
yunkaru taghayyurul ahkam bi taghayyuriz zaman wal makan.
(Tidak
boleh diingkari, adanya perubahan hukum karena perubahan waktu dan tempat)[11]
Berdasarkan
argumen-argumen sesat itu akhirnya mereka membuang hukum-hukum Islam yang
dianggapnya biadab atau tidak sesuai dengan semangat orang zaman modern saat
ini. Hukum potong tangan bagi pencuri, hukum rajam bagi pezina, haramnya riba,
hukuman mati untuk orang murtad, harus dienyahkan dari muka bumi karena
dianggap tidak berperikemanusaan, sudah usang, kuno, dan ketinggalan zaman. Begitu
pula kewajiban jihad fi sabilillah dan kewajiban adanya Khilafah Islamiyah
harus ditolak mentah-mentah atau diselewengkan dari pengertiannya yang hakiki,
karena dianggap sebagai kegiatan kaum ekstremis, fundamentalis, serta tidak
cocok dengan selera orang yang telah maju pikirannya. Pendapat seperti ini, serta pola pikir
yang melahirkan pendapat ini, sangat bertentangan dengan Islam. Karena pola
pikir yang dipakai oleh mereka yang berpendapat seperti itu, adalah pola pikir
khas Barat tatkala mereka berbicara tentang persoalan hukum dan kaitannya
dengan kenyataan masyarakat yang ada. Hukum, menurut Barat, haruslah lahir dari
masyarakat. Hukum adalah anak kandung, dan ibunya adalah masyarakat. Dengan
kata lain, yang sumber hukum, adalah keadaan masyarakat itu sendiri. Karenanya,
jika keadaan masyarakat berubah, berubah pulalah segala nilai, norma, dan
pranata kehidupan[12]
Pandangan
ini adalah pandangan kufur, yang bertentangan dengan Islam. Sebab dalam Islam
sumber hukum adalah wahyu semata, bukan yang lain. Bukan kenyataan masyarakat,
bukan tuntutan keadaan, bukan semangat kemodernan, bukan pula hal-hal lain yang
sebenarnya merupakan alasan-alasan yang terlalu dicari-cari. Jika zina dan riba
telah haram menurut wahyu, maka sampai Hari Kiamat tetap haram. Jika hudud
wajib dilaksanakan menurut wahyu, maka statusnya tetap wajib sampai Hari
Kiamat. Begitu pula jihad dan Khilafah yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya,
hukumnya tetap wajib dan tidak boleh dianulir atau dibatalkan oleh siapa pun
sampai Hari Kiamat.
Seorang
muslim yang meyakini pola pikir itu secara jazim (membenarkannya dengan pasti),
sungguh dia telah murtad dan keluar dari agama Islam. Sebab, pandangan tersebut
berarti menolak nash-nash yang qath’i
tsubut (pasti sumbernya dari Rasulullah) dan qath’i dalalah (pasti pengertiannya) yang
mewajibkan kita untuk terikat dengan hukum-hukum syara’ dan menyumberkan hukum-hukum syara’ itu dari al wahyu semata, bukan yang
lainnya.[13] Sumber hukum dalam Islam adalah wahyu,
bukan kenyataan masyarakat. Allah SWT berfirman :
“Ikutilah
apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran
(daripadanya)”. (QS
Al Araaf :3)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
HMI merupakan sebuah organisasi perjuangan yang telah lama hadir di
Indonesia dalam menciptakan kader-kader sebagai leader di bangsa ini, HMI telah
ikut berperan aktiv dalam kancah perpolitikan dan dimensi ruang social di
bangsa yang telah merdeka 66 tahun silam.
Tidak dapat dipungkiri setelah berdirinya HMI di tahun 1947, HMI
langsung memberi kontribusinya untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan
bangsa ini, yang saat itu sedang mengalami degradasi moral setelah dijajah
ratusan tahun oleh bangsa luar. Ini juga dikarenakan alasan atau penyebab
Lefran Pane menagmabil inisiatif untuk mendekalrasikan HMI.
Tidak mudah bagi HMI saat itu untuk mengambil peran dalam mempertahan
NKRI dikarenakan tekanan-tekanan yang datang dari luar, bahkan banyak
kader-kader HMI disaat itu dibunuh dan dimarginalkan oleh oknum-oknum yang
bertentangan dengan HMI, terutama disebabkan oleh perbedaan ideologi. Namun
semangat kader-kader HMI di saat itu tidak mudah luntur oleh ancaman dan
tekanan, mereka terus mampu menunjukan eksistensinya dalam mengisi kemerdekaan
dan member andil dalam membangun sebuah peradaban yang islami dan mampu
membendung arus komunis yang saat sedang berkembang pesat di tanah air ini.
Di era orde baru begitu banyak organisasi-organisasi yang di bubarkan
oleh pemerintah, namun HMI dengan berdasarkan keislamannya masih mampu
mempertahankan diri hingga sampai era reformasi HMI terus memberikan kontribusinya melalui kader-kader
yang telah dihasilkannya untuk mewarnai demokrasi di Indonesia.
Dalam perjalanannya HMI tidak selalu berjalan mulus, masih banyak
permasalahan yang terjadi dalam tubuh HMI untuk memberikan kontribusinya kepada
bangsa Indonesia. Bahkan tidak sedikit kader-kader HMI yang mencoreng almamaternya
sendiri dan harus diakui ini juga merupakan sebuah peran kearah negative yang
diberikan oleh HMI kepada bangsa ini.
63
tahun memang belum waktunya untuk menikmati secara keseluruhan hasil-hasil dari
apa yang telah diperbuat selama waktu itu. Sebagai organisasi perjuangan maka
kita harus selalu berpandangan bahwa perjuangan ini masih jauh, dan kita harus
meningkatkan amal dan pengabdian kita untuk terwujudnya tujuan tersebut. Karena
pada hakikatnya, hidup ini adalah suatu perjuangan dan perjuangan itu adalah
suatu proses panjang yang harus dilakukan setiap saat.
HMI
tidaklah boleh terus terlena dengan romantisme masa lalu, haruslah ada
perubahan di dalamtubuh HMI, dari semua lini, apakah secara struktural atau
kultural di internal HMI sendiri. Persatuan menjadi modal dasar bagi HMI agar
terus eksis.
B.
Saran- saran
HMI
tidaklah boleh terus terlena dengan romantisme masa lalu, haruslah ada
perubahan di dalamtubuh HMI, dari semua lini, apakah secara struktural atau
kultural di internal HMI sendiri. Persatuan menjadi modal dasar bagi HMI agar
terus eksis.
Hmi
juga harus mengingat bahwa ini adalah organisasi pengkaderan, dan inilah kita
harus kembali kepada titah perjuangan yang sebenarnya. Tidak terus terseret ke
arus politik, karena HMI bukan hanya mengurusi bidang politik.
Peningkatan
kapasitas setiap kader juga harus ditingkatkan, buat apa kita sebagai
organisasi besar tetapi kader yang kita miliki hanya penjadi pengekor tanpa
kapasitas untuk diri sendiri. Moral para kader juga harus diperhatikan kembali.
Melakukan
reformasi keagamaan untuk meningkatkan dan memperbaharui pengetahuan,
pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran agama Islam bagi setiap individu
anggota HMI, memperkokoh kembali tradisi intelektual HMI yang pernah diraihnya,
sebagai pewaris dari generasisebelumnya, HMI harus menghindari kepentingan
politik sesaat dan harus berani untuk melakukan koreksi, kritikan terhadap
alumni HMI dimanapun berada, sebagai konsekuensi dari sifat indenpendensi HMI.
DAFTAR
PUSTAKA
Saleh, Hasanuddin M.
HMI dan Rekayasa Azas Tunggal Pancasila, Yogyakarta : Kelompok Studi Lingkaran,
1996
Karim,
M. Rusli. HMI MPO ; Dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, Bandung : Mizan, 1997
Sitompul, Agussalim.
Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia,
Jakarta : Integrita Press, 1997
Mufti
, M. Ahmad dan Al Wakil, Sami Shalih. At Tasyri wa Sannul Qawanin fi Ad Daulah Al
Islamiyah,
Alfaqirillah.”risalah
pergerakan mahasiswa” Jakarta: lingkar pena, 2007
Muhlish,
Usman. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, 2000
Aritonang,
Diro. runtuhnya rezim soeharto, Bandung : Pustaka hidayah, 1999
Antonie,
C.A. Dake, Soekarno File berkas-berkas Soekarni 1965-1967 “kronologi suatu
keruntuhan “,Jakarta : Aksara Taruna, 2005
Tanja,
Victor I. HMI, Sejarah dan Kedudukannya Ditengah Gerakan Muslim Pembaharu Indonesia,
Sinar Harapan, 1982
[1]
Saleh, Hasanuddin M. 1996. HMI dan
Rekayasa Azas Tunggal Pancasila. Yogyakarta : Kelompok Studi
Lingkaran
[2]
Karim, M. Rusli. 1997. HMI MPO ; Dalam Kemelut Modernisasi Politik di
Indonesia. Bandung : Mizan.
[3]
Mengenai sikap akomodasionis HMI
ini, Lafran Pane (pendiri HMI) dalam majalah Forum Pemuda no. 41, Mei 1983,
mengatakan bahwa sikap akomodasionis HMI ini sudah merupakan kodrat HMI dalam
aktivitas organisasinya. (Ibid.)
[4]
Sitompul, Agussalim. 1997. Pemikiran
HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia.
Jakarta : Integrita Press.
[5]
Tokoh sentral HMI pada peristiwa
penolakan azas tunggal Pancasila. Dia adalah founding father dari HMI MPO,
sekaligus ketua umum pertama HMI MPO periode 1986-1998.
[6]
Karim, M. Rusli. 1997. HMI MPO
; Dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia. Bandung : Mizan
[7]
Sifat independen HMI sudah
ditegaskan sejak HMI berdiri dan itu dilegalisasi dalam konstitusinya.
Independensi oleh HMI punya dua pemaknaan; pertama independensi organisatoris,
HMI tidak berafiliasi (bukan bagian) dengan parpol atau ormas manapun tapi
berdiri sendiri; kedua independensi etis, HMI akan
bekerja sama dengan pihak manapun dalam memperjuangkan kebenaran (hanief)
karena HMI meyakini kebenaran itu hak mutlak dan bersumber dari Allah
yang dijabarkan dalam ajaran Islam. (PB HMI, 1986).
[8]
Alfaqirillah”risalah pergerakan mahasiswa”2007 lingkar pena
[12]
. Dr. M. Ahmad Mufti dan Dr. Sami Shalih Al Wakil, At
Tasyri wa
Sannul Qawanin fi Ad Daulah Al Islamiyah, hal. 9-11
[13]
Ahmad Jibraan
izin copas boss
BalasHapus