PASAR ACEH

PASAR ACEH
suasana dipagi hari di pasar aceh

Jumat, 07 Desember 2012

Makalah LK II Peran Dan Perjuangan HMI di Indonesia


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Esa Yang senantiasa memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita sekalian sehingga kita dapat menjalankan aktivitas sehari-hari. Shalawat serta salam selalu terhatur kepada Nabi dan Rasul kita, Rasul yang menjadi panutan semua ummat, yakni Nabi Besar Muhammad SAW serta keluarga dan sahabat beliau yang telah membawa kita dari jurang yang penuh kesesataan menuju sebuah kehidupan yang penuh kebahagiaan dan kedamaian.
Suatu rahmat yang besar dari Allah SWT yang selanjutnya penulis syukuri, karena dengan kehendaknya, taufiq dan rahmatnya pulalah akhirnya penulis dapat menyelasaikan makalah ini guna  persyaratan untuk mengikuti Intermediate Training (LK II) Tingkat Nasional Yang dilaksanakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jakarta timur pada tanggal 21 Februari s/d 28 Februari 2011 di Graha Insan Cita. Adapun judul makalah ini adalah:
(Peran dan Perjuangan HMI di Indonesia)
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada HMI Cabang Banda Aceh dan juga rekan-rekan kader-kader HMI yang selalu berjuang, yang selalu memberikan saran, koreksi dan motivasi yang sangat membangun. Dan juga tidak lupa penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada Kanda-Kanda Alumni (KAHMI) yang juga tidak luput memberi bantuan kepada penulis, dari segi moril maupun materil serta ucapan terima kasih juga penulis sampaikan untuk semua kader HMI Cabang Jakarta timur yang telah berjuang untuk mengadakan Latihan Kader (LK II) ini dengan harapan dan tujuan yang sangat mulia.
Makalah ini merupakan hasil jerih payah penulis yang sangat maksimal sebagai manusia yang tidak lepas dari salah dan khilaf. Namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Jadi saran, kritik dan koreksi yang membangun sangat penulis harapkan dari rekan-rekan semua.

Akhirnya, kepada Allah jualah kita memohon. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita sebagai penambah wawasan dan cakrawala pengetahuan. Dan dengan memanjatkan doa dan harapan semoga apa yang kita lakukan ini menjadi amal dan mendapat ridha dan  balasan serta ganjaran yang berlipat ganda dari Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Billahittaufiq Wal Hidayah

Banda Aceh, 14 Februari 2011
 
                                                                                                Penulis


DAFTAR  ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………………………………….             i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………………………              ii
BAB  I    : PENDAHULUAN
A.      Latar belakang Masalah……………………………………………………………………….             1
B.      Rumusan Masalah……….........................................................................        2
C.      Tujuan Penulisan………………………………………………………………………………..               2
BAB II    :  PEMBAHASAN
A.      Peran HMI di Indonesia………………………………………………………………………………..         3
1.       Partisipasi Politik HMI periode 1947 - 1960……………………………………………            4
2.       Perjuangan HMI Masa Orde Lama Dan Orde Baru…………………………………          5
HMI Masa Orde Lama……………………………………………………………………………..         5
Peran HMI di Era Orde Baru……………………………………………………………………..        6

B.      Perjuangan HMI  di Indonesia…………………………………………………………..   7
1. Kondisi Islam Di Negara Indonesia Sebelum Terbentuknya HMI……………....     7
2. Kondisi Perguruan Tinggi Dan Mahasiswa Islam ………………………………….     9
3. Saat Berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)……………………………....     9
4. Gagasan Pembaharuan Pemikiran KeIslaman……………………………………….    10
5. Gagasan Dan Visi Perjuangan Sosial Budaya………………………………..……….    10
6.  Komitmen Ke-Islaman Dan Ke-Bangsaan Sebagai Dasar Perjuangan HMI…...   11

C.      HMI Solusi Kesejahteraan Umat ……………………………………………………….  12
1.  HMI Menjawab Tantangan Umat Di Zaman Modern…………………………….    12
2.       Islam Tidak Ketinggalan Zaman Dan Menjawab Tantangan Zaman.……….    15
BAB III   :  PENUTUP
A.      Kesimpulan…………………………………………………………………………     18
B.      Sasaran……………………………………………………………………………….     19
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………...      20

 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang Masalah
Ketika kita berbicara HMI dulu dan masa datang, maka kita tidak akan terlepas dengan sejarah berdirinya HMI. Seorang mahasiswa, Lafran Pane, mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tahun 1947 bersama rekan-rekan perjuangannya. Mereka mendirikan HMI, antara lain karena ingin belajar tentang keislaman. Keberadaannya terus tumbuh dan berkembang di basis-basis perguruan tinggi Islam, seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga menghasilkan kader-kader yang berkualitas seperti, Nurcholis Madjid, Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Fachri Ali, Abudin Nata dan kader-kader terbaik lainnya. Oleh karenanya, peran organisasi Islam ini bukan hanya menawarkan pengajaran Islam secara khusus, tapi lebih jauh dari itu HMI ingin memberikan pencerahan intelektual politik serta pemberdayaan potensi kader secara menyeluruh.
Harapan Organisasi HMI dideklarasikan (antara lain) sebagai organisasi mahasiswa yang independen, kader Umat dan Bangsa, dan tidak menjadi underbouw sebuah partai politik, termasuk partai politik Islam. Wajar jika Jenderal (Besar) Sudirman saat itu menyambut HMI sebagai Harapan Masyarakat Indonesia karena dalam HMI berkumpul orang terpelajar, yang tentunya diharapkan dapat memberi manfaat bagi masa depan bangsanya. Ada warna ke-Islaman dan ke-Bangsaan sejak kelahirannya. Tidak mengherankan, ketika RI menghadapi perang kemerdekaan melawan Belanda, mereka juga mendirikan pasukan bersenjata yang dikenal sebagai Corp Mahasiswa. Dengan cita-cita pendirian HMI seperti itu, harus diakui, tidaklah mudah memegang khittah HMI di tengah lingkungan keumatan dan kebangsaan selama ini. Pluralism yang mewarnai umat dan bangsa tentu menyulitkan formula HMI sebagai kader umat dan bangsa.
Dalam perjalanannya, HMI selalu ditarik ke kanan dan ke kiri untuk berpihak kepada salah satu kekuatan umat dan bangsa. Sikap independen sering menjadi pertaruhan tidak mudah. Tidak jarang HMI dikesankan sebagai tidak independen lagi.
Oleh karena itu merujuk kondisi ulyang telah penulis paparkan diatas maka penulis ingin membahas denganlebih rinci tentang persoalan-persoalan tersebut dalam makalah ini yang berjudul “Peran dan Perjuangan HMI di Indonesia”
B.     Rumusan Masalah
Dinamika gerakan mahasiswa, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari perannya sebagai gerakan pembaharuan. Sifat, bentuk dan problematika yang dihadapinya sangat bercorak. Tentunya dengan ciri khas tersendiri HMI menanggapi problematika Ke-Islaman dan Ke-Bangsaan dalam menjawab tantangan zaman. Oleh karena itu permasalahan rumusan masalah yang ingin penulis kaji adalah berkaitan dengan:
1.      Peran HMI Di Indonesia
2.      Perjuangan HMI di Indonesia
3.      HMI Solusi Kesejahteraan Umat
Seperti telah disinggung di atas, bahwasanya HMI tidak bisa pisah dari dari perannya begitu saja, dengan kekuatan retorika yang dimainkan dan menjawab problematika Ke-Islaman dan Ke-Bangsaan dalam menjawab tantangan zaman yang maju. Oleh karena itu, kajian ini untuk melihat dinamika seajarah gerakan dan peran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sangat perlu di kaji.

C.    Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk menganalisa dan mengungkap efek positif dan negatif sejarah dan peran HMI di Indonesia untuk kemajuan Islam dalam beragama dan bernegara, penulisan ingin mencoba merealisasikan peran HMI dalam Kemajuan Islam di Indonesia dan mengungkap dinamika dalam beragama dan berbangsa sehingga dapat direspon untuk mahasiswa atau masyarakat dan mempraktekkannya serta menjaga perdamaian Indonesia dalam garis Ke-Islaman.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Peran HMI Di Indonesia
Karakteristik khas pola gerakan HMI sejak awal berdirinya adalah tidak memisahkan gerakan politik dengan gerakan keagamaan. Berpolitik bagi HMI adalah suatu keharusan, sebab untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan HMI haruslah dilakukan secara politis. Hal ini dikuatkan pula oleh pendiri HMI Lafran Pane, bahwa bidang politik tidak akan mungkin dipisahkan dari HMI, sebab itu merupakan watak asli HMI semenjak lahir.[1] Namun hal itu bukan berarti HMI menjadi organisasi politik, sebab HMI lahir sebagai organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan, yang menjadikan nila-nilai Islam sebagai landasan teologisnya, kampus sebagai wahana aktivitasnya, mahasiswa Islam sebagai anggotanya. Background kampus dan idealisme mahasiswa merupakan faktor penyebab HMI senantiasa berpartisipasi aktif dalam merespon problematika yang dihadapai umat dan bangsa, jadi wajar jika HMI tetap memainkan peran politiknya dalam kancah bangsa ini. Selain itu, argumentasi lain dikemukakan oleh Rusli karim[2] dalam tulisannya;
“Walaupun HMI bukan organisasi politik, tetapi ia peka dengan permasalahan politik. Bahkan kadang-kadang karena keterlibatannya yang sangat tinggi dalam aktivitas politik ia dituduh sebagai kelompok penekan (pressure group)”.
Watak khas pola gerakan politik HMI ini yang terinternalisasi sejak kelahirannya ini menjadikan HMI senantiasa bersikap lebih berhati-hati dalam melakukan aktivitas organisasinya, sehingga kehati-hatian inilah yang melahirkan sikap moderat dalam aktivitas politik HMI. Lahirnya sikap moderat ini sebagai konsekuensi logis dari kebijakan HMI memposisikan dirinya harus senantiasa berada diantara berbagai kekuatan kepentingan agar HMI bisa lebih leluasa untuk melakukan respon serta kritisismenya dalam mencari alternatif dan solusi dari problematika yang terjadi disekitarnya. Namun sebagai konsekuensi logis pula bagi HMI, dengan sikap moderat dalam aktivitas politiknya ini, munculnya kecenderungan sikap akomodatif[3] dan kompromis dengan kekuatan kepentingan tertentu, dalam hal ini penguasa. Sikap politik HMI dalam proses kesejarahannya memperlihatkan dinamika yang cukup menarik untuk dikaji lebih dalam, terutama kaitannya antara sikap politik HMI dengan konsisi sosial politik yang terjadi pada masa tertentu. Sedikitnya ada dua faktor yang mempengaruhi pola gerakan HMI, yaitu;
Ø  Faktor internal, faktor ini berupa corak pemikiran keIslaman-keIndonesiaan yang dipahami HMI dan kultur gerakan HMI yang dibentuk sejak kelahirannya
Ø  Faktor eksternal. HMI yang menegaskan dirinya sebagai organisasi berbasis Islam dengan ajaran Islam sebagai landasan nilai dalam gerakannya, tentunya tidak bisa dilepaskan dari komunitas Islam. HMI pun menegaskan dirinya sebagai anak kandung umat Islam yang senantiasa akan berjuang bersama-sama umat dan ditengah-tengah umat dalam memperjuangkan terciptanya masyarakat adil makmur  yang  diridhai  Allah  SWT (baldatun toyyibatun warabbun ghafur). Oleh karena itu, pola gerakan HMI akan banyak sekali dipengaruhi oleh kondisi  sosio-aspiratif umat Islam. Karena sosio-aspiratif ini pasti berbeda-beda sesuai dengan perkembangan jaman, maka pola gerakan HMI dalam konteks ini pun akan berubah sesuai dengan kondisi sosio - aspiratif umat Islam

1.      Partisipasi Politik HMI periode 1947 - 1960
Rumusan pemikiran politik HMI sudah ditegaskan secara jelas sejak kelahiran HMI pada 05 Februari 1947 di Yogyakarta, yaitu dalam rumusan tujuan awal berdirinya HMI. Dalam tujuan awal pembentukan HMI disebutkan;
Ø  Mempertahankan Kemerdekaan Negara Republlik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia
Ø  Menegakkan dan mengembangkan ajaran Agama Islam[4]
Dari akar sejarahnya itu kelihatan bahwa HMI memainkan sekaligus dua fungsi dan perannya, gerakan keIslaman dan gerakan keIndonesiaan, yang dimanifestasikan dalam bentuk gerakan politik. Perjuangan penegakan ajaran Islam dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia mustahil terwujud bila HMI tidak berpolitik. Pemaknaan yang lebih dalam terhadap tujuan HMI dikemukakan oleh Eggi Sudjana[5] dalam tulisannya; Kedua anak kalimat tersebut mengandung dua makna tentang peranan HMI sejak kehadirannya di Indonesia. Makna strategis, yaitu bahwa Islam adalah agama dakwah yang harus disampaikan pada seluruh umat manusia. Merujuk pada makna ini, tentu dakwah tidak akan berjalan lancar tanpa adanya stabilitas politik serta keteraturan wilayah. Untuk itu langkah yang amat strategis bagi realisasi dakwah islamiah adalah melalui perjuangan pertahanan Indonesia sebagai tanah air yang merdeka dan bebas dari penjajahan. sedangkan makna sosiologis adalah bahwa mahasiswa muslim yang mencintai, memiliki dan memihak serta memaknai keberlangsungan eksistensi negara Indonesia dengan spirit atau ruhul Islam, pada gilirannya akan melahirkan peradaban masyarakat muslim yang tipikal keIndonesiaan.[6]
Walaupun pola gerakannya tidak bisa dipisahkan dari politik, bukan berarti HMI terlibat secara aktif dalam politik praktis atau bahkan berafiliasi dengan partai politik. Kesalahan memahami pola gerakan HMI ini terjadi pada masa ini (Orla), dimana HMI dianggap anak kandung (underbow) partai Masyumi, padahal HMI dengan independensinya tidak terikat secara formal (organisatoris) dengan partai politik manapun. Kedekatan dengan partai politik atau ormas hanyalah karena HMI memiliki persamaan aspirasi “keIslaman dan semangat modernis” dengan organisasi tersebut. Inilah yang dimaknai oleh HMI sebagai independensi etis.[7]

2.      Perjuangan HMI Masa Orde Lama Dan Orde Baru
v  HMI Masa Orde Lama
HMI pada Orde Lama berasaskan Islam, namun tidak berencana mendirikan negara Islam. Bahkan, salah satu tokoh HMI, Dahlan Ranuwihardjo (ketua umum PB HMI 1951-1953) pernah berdebat dan mengusulkan kepada presiden Soekarno untuk menolak negara Islam dan menerima negara nasional atau NKRI. Sikap intelektual HMI ini bersifat independen.
Menjelang pemilu 1955 gerakan mahasiswa terbagi menjadi kiri (isu utama anti-kapitalisme, anti-nekolim dan anti-fasisme) dan kanan (isu anti-komunis & anti kediktatoran). Gerakan kiri misalnya GMNI dan CGMI yang berafiliasi dengan PNI dan PKI, sedangkan gerakan kanan misalnya HMI yang diindikasikan berafiliasi dengan Masyumi. Menjelang demokrasi terpimpin, bandul kekuasaan di bawah Soekarno semakin di sebelah kiri sehingga kelompok mahasiswa kanan mengalami kekalahan. Padahal, sejak diberlakukannya demokrasi terpimpin, gerakan mahasiswa mengalami ideologisasi yang juga terjadi pada semua organisasi pergerakan. Organisasi yang sesuai dengan ideologi negara dapat berkembang, sedangkan organisasi mahasiswa yang berseberangan dengan ideologi negara terkucilkan atau bahkan dicap (kontrarevolusi). Presiden Soekarno sempat akan membubarkan HMI karena menilai HMI melakukan tindakan anti revolusi, reaksioner, aneh, menjadi tukang kritik, liberal dan terpengaruh oleh cara berpikir Barat.
Pertentangan semakin tajam hingga menjelang peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober) 1965, di mana kekuasaan Soekarno mulai goyah. HMI terlibat bersama kelompok yang banyak berasal dari kaum kanan berkongsi dengan militer mulai mengorganisasi diri untuk menggulingkan presiden. Pertarungan ini akhirnya dapat dimenangkan dengan tergulingnya Soekarno berikut gerakan mahasiswa dan partai politik yang mendukung ideologi Bung Karno.[8]

v  Peran HMI di Era Orde Baru
HMI DIPO Pada masa Orba, ada kecenderungan yang amat kuat dari alumni HMI DIPO yang berpengaruh untuk masuk dalam lingkup kekuasaan. Jabatan menteri menjadi mudah diraih bagi orang yang pernah menakodai HMI. HMI yang menjadi bagian pendiri Orde Baru mengambil peran secara efektif sebagai sumber rekruitmen kepemimpinan nasional yang kemudian dikenal dalam doktrin organisasi; ”HMI sebagai sumber insani pembangunan”. Banyak ditemui tokoh HMI yang mengisi birokrasi kekuasaan sehingga HMI ini tidak lagi menampilkan sosok herois yang terlibat penuh dalam pergerakan mahasiswa seperti ditunjukkan oleh para pendahulunya. Kolaborasi penguasa Orde Baru dengan mantan aktivis mahasiswa, termasuk alumni HMI, berdampak besar terhadap peran HMI yang hampir-hampir absen dalam setiap momentum kebangkitan gerakan mahasiswa.
Gerakan HMI-DIPO pun senada dan seirama dengan penguasa. Jadi, sulit untuk menemukan hal-hal yang menonjol dari HMI DIPO. Kritik terhadap pemerintahan nyaris tidak ada. Dan kegiatan yang dilaksanakan DIPO cenderung normatif, seakan menjauh dari idealisme seperti pada 20 tahun awal berdirinya.
HMI-MPO adalah sempalan HMI yang dianggap ilegal oleh pemerintah. Di masa Orba, organisasi ini ditekan dan dianggap sebagai "organisasi terlarang". Sekretariatnya terus dipantau oleh intelejen, kegiatannya direpresi, pendapatnya dipendam secara paksa. Dalam kasus ini, cukup sulit untuk mengatakan sejauh mana peranan HMI-MPO pada masa Orba. Kegiatan mereka berkisar di masalah dakwah secara sembunyi-sembunyi di mushala-mushala kampus dan kampung yang menjadi konsentrasi pondokan mahasiswa. Yang mereka lakukan selama itu adalah membangun opini internal turun temurun mengenai kebobrokan orde baru. Selain itu juga ada fungsi regenerasi dengan menanamkan semangat dan cita-cita HMI pada saat awal didirikan, garis perjuangan organisasi, dan lain sebagainya. Bisa disimpulkan, dari kegiatan HMI-MPO di masa orde baru terdapat usaha untuk mempertahankan idealisme dan semangat organisasi ditengah paksaan untuk mengakui asas tunggal Pancasila dan represifitas sebagai akibat pembangkangan mereka. Mereka tidak melakukan kegiatan yang menonjol bukan karena mereka tidak mau, tetapi karena mereka tidak memiliki sumber daya dan kesempatan untuk melakukan hal itu. Bergerak sedikit saja, bisa-bisa salah satu aktivis mereka hilang tak jelas keberadaannya. Ini yang diwaspadai untuk menghindari pembubaran secara paksa oleh pemerintah.
B.      Perjuangan HMI  di Indonesia
1.      Kondisi Islam Di Negara Indonesia Sebelum Terbentuknya HMI
Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI merupakan suatu organisasi yang  bernafaskan Islam dan bersifat independen atau bebas dan merdeka tidak tergantung dan memihak dengan kelompok atau golongan tertentu. HMI telah berdiri sejak 5 februari 1947 dan sampai sekarang organisasi ini masih berkiprah dan terus berkembang ke berbagai Universitas yang dimana suatu Universitas tersebut terdapat mahasiswa Islam maka di Universitas tersebut terdapat organisasi HMI ini, organisasi ini sangatlah luas seiring dengan banyaknya Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta yang ada di Indonesia. Organisasi ini merupakan suatu organisasi pengkaderan dimana bertujuan terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
Secara garis besar sebelum terbentukya organisasi ini, terjadinya kemunduran umat Islam pada waktu itu baik dari segi pemikiran dll, di Indonesia, dan hal itulah yang membuat organisasi HMI ini terbentuk yang diprakarsai oleh Lafran Pane, ia seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), kini UII (Universitas Islam Indonesia) yang masih duduk ditingkat I yang ketika itu genap berusia 25 tahun dan untuk melakukan suatu gerakan pembaharuan ketika itu. Seiring dengan berjalannya waktu dimulai sebelum terbentuknya HMI sampai era reformasi sekarang, HMI telah melewati banyak fase atau tahap dalam perkembangannya seperti di jelaskan di atas sehingga kini HMI tetap dan terus menjalankan syariat organisasinya yang nasionalis dan tetap bernuansa Islam, sehingga kader-kader HMI sekarang menjadi seorang muslim yang nasionalis, berintelektual yang sekaligus menjunjung tinggi asas-asas keIslaman di Indonesia agar membuat Negara ini bangkit dan terus maju dalam pembangunan baik dalam segala aspek manapun, dan untuk menunjukkan kepada Negara luar khususnya Negara non-muslim bahwa Indonesia sebagai Negara dengan umat muslim terbanyak di dunia bisa membuat rakyat dan negaranya maju dalam segala bidang dan tetap menjunjung tinggi asas-asas keislaman.
Sebagai Mahasiswa atau kaum intelektual di masa sekarang, dengan sifat keindependen dari HMI ini kita harus selalu dituntut untuk mengambil sikap berani, kritis, adil, jujur dan selalu berpikir obyektif dan rasional. Dengan sifat independen inilah Mahasiswa harus mampu mencari, memilih dan menempuh jalan atas dasar keyakinan dan kebenaran, maka kader-kader HMI haruslah berkualitas karena itu merupakan suatu modal untuk meningkatkan mutu dari kader HMI sehingga mampu berperan aktif pada masa sekarang dan mendatang. Dengan mengetahui sejarah terbentuknya organisasi ini pada masa lalu, kita dapat mengetahui semangat juang HMI. Merupakan sebuah tonggak bagi HMI untuk meneruskan perjuangan pencipta dan para pendahulu di HMI agar selalu terciptanya hari esok yang lebih baik. Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di dunia saat itu, umat Islam berada dalam cengkaraman nekolim barat. Penjajah memperlakukan umat Islam sebagai masyarakat kelas bawah dan diperlakukan tidak adil, serta hanya menguntungkan kelompok mereka sendiri atau rakyat yang sudah seideologi dengan mereka.
Umat Islam Indonesia hanya mementingkan kehidupan akhirat, dengan penonjolan simbolisasi Islam dalam ubudiyah, sebagai upaya kompensasi atas ketidakberdayaan untuk melawan nekolim, sehingga pemahaman umat tidak secara benar dan kaffah. Bahkan ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah ditutup, hal ini menyebabkan umat hidup dalam suasana taqlid dan jumud. Selain itu umat Islam Indonesia berada dalam perpecahan berbagai macam aliran/firqah dan masing-masing golongan melakukan truth claim, hal ini menyebabkan umat Islam Indonesia tidak kuat akibat kurang persatuan di kalangan umat Islam di Indonesia.
2.      Kondisi Perguruan Tinggi Dan Mahasiswa Islam
Perguruan tinggi adalah tempat untuk menuntut ilmu yang akan menghasilkan para pemimpin untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Selain itu perguruan tinggi adalah motor penggerak perubahan, dan perubahan tersebut diharapkan menuju sesuatu yang lebih baik. Begitu pentingnya perguruan tinggi, maka banyak golongan yang ingin menguasainya demi untuk kepentingan golongan tersebut.
Sejalan dengan perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan yang strategis tersebut, ada beberapa faktor dominan yang menguasai dan mewarnai perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan, antara lain sistem yang diterapkan khususnya di perguruan tinggi adalah sistem pendidikan barat yang mengarah pada sekularisme dan dapat menyebabkan dangkalnya agama atau aqidah dalam kehidupan. Selain itu adanya organisasi kemahasiswaan yang berhaluan komunis dan ini menyebabkan aspirasi Islam dan umat Islam kurang terakomodir.
Faktor-faktor di atas adalah ancaman yang serius, karena menyebabkan masalah dalam hidup dan kehidupan serta keberadaan Islam dan umat Islam. Mahasiswa Islam kurang memiliki ruang gerak karena berada dalam sistem yang sekuler dan tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan harus menghadapi tantangan dari mahasiswa komunis yang sangat bertentangan dengan fitrah manusia dan bertentangan pula dengan ajaran Islam. Jelas sudah bahwa mahasiswa Islam sangat sulit untuk bergerak memperjuangkan aspirasi umat Islam.

3.      Saat Berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
HMI lahir pada saat umat Islam Indonesia berada dalam kondisi yang memprihatinkan, yaitu terjadinya kesenjangan dan kejumudan pengetahuan, pemahaman, penghayatan ajaran Islam sehingga tidak tercermin dalam kehidupan nyata. Pada saat HMI berdiri, sudah ada organisasi kemahasiswaan, yaitu Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), namun PMY didominasi oleh partai sosialis yang berpaham komunis. Akibat didominasi oleh partai sosialis maka PMY tidak independen untuk memperjuangkan aspirasi mahasiswa, maka banyak mahasiswa yang tidak sepakat dan tidak bisa membiarkan mahasiswa terlibat dalam polarisasi politik. Sebagai realisasi dari keinginan tersebut maka di Yogyakarta pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan tanggal 5 Februari 1947 sebuah organisasi kemahasiswaan, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi independen dan sebagai anak umat dan anak bangsa.
4.      Gagasan Pembaharuan Pemikiran KeIslaman
Untuk melakukan pembaharuan dalam Islam, maka pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan umat Islam akan agamanya harus ditingkatkan, sehingga dapat mengetahui dan memahami ajaran Islam secara benar dan utuh. Kebenaran Islam memiliki jaminan kesempurnaannya sebagai peraturan untuk kehidupan yang dapat menghantarkan manusia kepada kebahagian dunia dan akhirat.
Tugas suci umat Islam dalah mengajak umat manusia kepada kebenaran Illahi dan kewajiban umat Islam adalah menciptakan masyarakat adil makmur material dan spiritual. Dengan adanya gagasan pembaharuan pemikiran keislaman, diharapkan kesenjangan dan kejumudan pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dalpat dilakukan dan dilaksanakan sesuai dengan ajaran Islam. Kebekuan pemikiran umat Islam telah membawa pada arti agama yang kaku dan sempit, tidak lebih dari agama yang hanya melakukan peribadatan. Al-Qur’an hanya dijadikan sebatas bahan bacaan, Islam tidak ditempatkan sebagai agama universal. Gagasan pembaharuan pemikiran Islam ini pun hendaknya dapat menyadarkan umat Islam yang terlena dengan kebesaran dan kejayaan masa lalu.

5.      Gagasan Dan Visi Perjuangan Sosial Budaya
Ciri utama masyarakat Indonesia adalah kemajemukan sosial budaya, kemajemukan tersebut merupakan sumber kekayaan bangsa yang tidak ternilai, tetapi keberagaman yang tidak terorganisir akan mengakibatkan perpecahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan awal saat HMI berdiri juga tidak terlepas pada gagasan dan visi perjuangan sosial budaya, yaitu:
Ø  Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia
Ø  Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam
Dari tujuan tersebut jelaslah bahwa HMI ingin agar kehidupan sosial budaya yang ada menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia guna mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih. Untuk menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam pun harus dipelajari kondisi sosial budaya agar tidak terjadi benturan kultur.
Masyarakat muslim Indonesia yang hanya memahami ajaran Islam sebatas ritual harus diubah pemahamannya dan keadaan sosial budaya yang telah mengakar ini tidak dapat diubah serta merta, tetapi melalui proses panjang dan bertahap.
6.      Komitmen Ke-Islaman Dan Ke-Bangsaan Sebagai Dasar Perjuangan HMI
Dari awal terbentuknya HMI telah ada komitmen keumatan dan kebangsaan yang bersatu secara integral sebagai dasar perjuangan HMI yang dirumuskan dalam tujuan HMI yaitu:
Ø  Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia yang didalamnya terkandung wawasan atau pemikiran kebangsaan atau ke-Indonesiaan
Ø  Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam yang didalamnya terkandung pemikiran ke-Islaman
Komitmen tersebut menjadi dasar perjuangan HMI didalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai organisasi kader, wujud nyata perjuangan HMI dalam komitmen keumatan dan kebangsaan adalah melakukan proses perkaderan yang ingin menciptakan kader berkualitas insan cita yang mampu menjadi pemimpin yang amanah untuk membawa bangsa Indonesia mencapai asanya. Komitmen keislaman dan kebangsaan sebagai dasar perjuangan masih melekat dalam gerakan HMI. Kedua komitmen ini secara jelas tersurat dalam rumusan tujuan HMI (hasil Kongres IX HMI di Malang tahun 1969) sampai sekarang,
Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT”.
Namun kedua komitmen itu tidak dilakukan secara institusional, melainkan dampak dari proses pembentukan kader yang dilakukan oleh HMI.
C.    HMI Solusi Kesejahteraan Umat
1.      HMI Menjawab Tantangan Umat Di Zaman Modern
Di Indonesia sendiri, Fachry Ali dan Bahtiar Effendy menyatakan tentang tipologi gerakan intelektualisme Islam neo-modernisme. Gerakan pemikiran neo-modernisme merupakan gerakan pemikiran Islam yang muncul di Indonesia sekitar tahun 1970-an. Gerakan ini lahir dari tradisi modernisme Islam yang terdahulu dan telah cukup mapan di Indonesia.  Akan tetapi ia memakai pendekatan yang lebih khas dari sisi konsepsi maupun aplikasi ide-ide
Nurcholish Madjid merupakan tokoh gerakan intelektual ini.  Dengan cerdas ia memadukan cita-cita liberal dan progresif dengan keimanan yang saleh.  Melalui konsep rasionalitas, Cak Nur, sapaan akrabnya, menyatakan arti pentingnya untuk menelusuri dan memahami pengetahuan manusia yang relative dan terbatas. Hal ini menyangkut persoalan hubungan kedudukan antara agama dan akal yang telah lama menjadi bahan perdebatan para teolog sejak dulu. Karena pengetahuan manusia yang terbatas itulah maka kebenaran yang bersifat mutlak tidak dapat dicapai oleh manusia. Selanjutnya Cak Nur menawarkan satu bentuk teologi inklusif, dimana inti ketajaman teologi ini adalah kesadaran teologis yang mensyaratkan adanya ruang kebebasan berpikir sebagai wujud komitmen ketauhidan seseorang. Ruang kebebasan inilah yang menjadi substansi bagi pembaharuan dan kemajuan dalam Islam.  Sikap keterbukaan untuk mau menerima kebenaran dan perbedaan dari orang lain.
HMI telah menjadikan pemikiran neo-modernisme ini sebagai referensi utama bagi pemahaman teologinya. Lewat pemikiran-pemikiran Cak Nur yang juga mantan ketua PB HMI inilah konsep Islam Keindonesiaan ditawarkan oleh kader-kader HMI.
Lain halnya dengan PMII, ormas mahasiswa Islam ini lebih mengembangkan teologi yang lebih radikal bila dipandang oleh sebagian besar umat Islam pada umumnya.  Pada mulanya PMII memakai doktrin teologi Aswaja (ahlussunnah wal jama’ah) sebagi doktrin resmi yang dipakai NU dan masyarakat Islam Indonesia pada umumnya.  Doktrin teologi Aswaja lebih banyak berbicara mengenai takdir manusia yang telah ditentukan Allah, dan kedudukan manusia sebagai makhluk. Namun akhir-akhir ini tradisi kritik yang berkembang di PMII tidak hanya menggugat kemapanan struktur sosial, ekonomi dan politik yang ada, tapi termasuk doktrin teologi Aswaja. PMII dengan berani menggulirkan perlunya pembacaan kembali konsep Aswaja tersebut.
Dewasa ini terdapat loncatan perubahan yang cukup menyolok dikalangan kader-kader PMII. Sebagai angkatan muda NU, mereka sebagian besar berasal dari kalangan tradisional, kelompok masyarakat yang sering diidentikkan dengan konservatifisme sosial lewat apresiasi yang rendah terhadap hal-hal baru. Mereka juga dikenal dengan keterbelakangan kultural  karena orientasi hidup mereka dipercayai hanya sebatas penerapan dan pemeliharaan nilai-nilai lama yang teguh dipegangi dan diyakini.  Pandangan ini mulai bergeser ketika PMII kini memiliki pandangan intelektual yang lebih terbuka, peka dan peduli terhadap masalah keagamaan dan kehidupan social. Konsekuensi dari keterbukaan ini bagi PMII adalah sikap menerima perbedaan, akomodatif, dan toleran.
Tradisi berpikir kritis terhadap segala macam bentuk kemapanan yang ada, telah membawa PMII untuk melakukan kajian terhadap kondisi kehidupan sosial, termasuk kebekuan-kebekuan yang dialami agama.  Doktrin-doktrin ajaran agama saat ini, menurut PMII, sudah tidak relevan lagi dengan perubahan jaman.  Karena ajaran agama yang ada telah tercerabut dari keaslian akar tradisi masyarakat.  Ajaran agama tidak tertanam dalam kesadaran masyarakat.  Untuk itu perlu dilakukan tafsir ulang terhadap doktrin-doktrin ajaran agama, bahkan sampai keakar-akarnya yaitu dimensi teologis.
Pada tataran teologis PMII lebih memandang bahwa semua agama akan bermuara pada satu titik yang sama yakni Tuhan.  Terdapatnya agama-agama yang berbeda merupakan suatu bentuk keanekaragaman jalan atau cara yang mengandung makna kebenarannya sendiri-sendiri, dan keanekaragaman ini merupakan fitrah yang dikehendaki Tuhan.  Yang terpenting bagi agama saat ini  adalah harus membawa kemanfaatan nyata bagi kesejahteraan manusia.
Ahmad Baso, salah seorang senior di PB PMII mengungkapkan suatu gagasan mengenai kritik wacana agama.  Kritik agama Baso adalah Islam sebagai sistem kultur dan ideologi. Titik perhatiannya diarahkan pada kritik  nalar atau cara-cara berpikir yang secara sistemik membentuk pola pikir penganutnya secara sadar maupun tidak sadar. Lebih lanjut Baso mencontohkan kebekuan tradisi pembaharuan dalam pemikiran tokoh-tokohnya, baik itu pada diri Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, maupun dalam pemikiran Abdurrahman Wahid.  Makna ISLAM LIBERAL dalam pemikiran Nurcholish Madjid, hanya berhenti pada tingkat wacana.  Gagasan tersebut tidak bisa diterjemahkan secara praksis dalam kehidupan umat di lapisan bawah.
KAMMI yang dilahirkan oleh para aktivis Lembaga Dakwah Kampus memiliki corak pergerakan yang khas.  Jaringan mereka sangat luas dan telah ada hampir diseluruh Perguruan Tinggi di Indonesia. Tidak mengherankan jika pada usia yang masih muda KAMMI di puji banyak kalangan sebagai ormas mahasiswa Islam tersolid saat ini.  Kehadiran massa dalam jumlah besar di setiap aksinya, memperkuat daya tekan KAMMI dalam mendukung gerakan reformasi.
Pada tataran teologis KAMMI memiliki doktrin pemahaman yang cukup kuat bahwa Islam sebagai suatu sistem yang kaffah merupakan solusi terbaik dalam menjawab tantangan kemanusian.  Bagi KAMMI, Islam tidak hanya berbicara mengenai pribadi individu, tapi Islam juga mengatur juga tentang hubungan sosial.  Karena itu kemenangan Islam dalam keyakinan KAMMI adalah suatu keniscayaan.
Tradisi pendekatan wacana yang berkembang di KAMMI adalah upaya pencarian keabsahannya gerakannya melalui teks-teks suci.  Hampir di setiap kali muncul wacana pemikiran KAMMI akan selalu diikuti sumber pembenarannya dari teks Al Qur’an dan Hadits. Pembacaan terhadap teks-teks suci tersebut telah memberikan semangat juang (ghirah) tersendiri bagi KAMMI. Pada akhirnya, kontekstualisasi teks dengan realitas sosial sekarang mendorong KAMMI berkiprah lebih banyak di bidang pelayanan sosial, pendidikan politik, dan advokasi umat.
2.             Islam Tidak Ketinggalan Zaman Dan Menjawab Tantangan Zaman
Tantangan zaman, dapat diartikan munculnya fakta, keadaan, atau problem baru seiring dengan perkembangan waktu. Misalnya, Dulu tidak terbayang ada sarana komunikasi dan informasi yang canggih seperti internet saat ini. Dengan adanya internet, berarti ada tantangan zaman. pergaulan bebas yang liar di kalangan muda-mudi, sekarang makin menggila. Ini tantangan zaman. Kita umat Islam dulu memiliki sistem Khilafah sebagai institusi yang memungkinkan adanya kehidupan Islam, tetapi pada tahun 1924 Khilafah diluluhlantakkan oleh Mustafa Kamal yang murtad. Tiadanya Khilafah, adalah tantangan zaman. Sekarang penguasa negeri-negeri Islam telah mencampakkan ideologi Islam, menganut dan menerapkan ideologi Kapitalisme, serta menjadi agen-agen yang setia bagi negara-negara penjajah yang kafir. Ini semua tantangan zaman
Setiap tantangan, pasti butuh jawaban dan penyelesaian. Dalam hal ini, Islam sebagai ideologi sempurna secara potensial menyediakan jawaban-jawaban bagi segala masalah atau persoalan yang timbul di tengah manusia.[9] menguraikan secara ringkas metode (thariqah) Islam untuk memecahkan masalah, yaitu memahami fakta persoalan sebagaimana adanya, lalu memberikan solusi padanya. Solusi ini bisa berupa Syariat Islam bila persoalannya berkaitan dengan hukum-hukum syara, dan bisa pula berupa cara (uslub) dan sarana (wasilah) tertentu jika persoalan yang dihadapi tidak secara langsung berhubungan dengan hukum syara, misalnya teknik dalam pertanian, kedokteran, kesehatan, dan sebagainya.[10] Taqiyyuddin An Nabhani menjelaskan metode Islam yang harus ditempuh para mujtahidin untuk memecahkan persoalan. Pertama, mempelajari dan memahami problem yang ada (fahmul musykilah). Kedua, mengkaji nash-nash syara yang bertalian dengan problem tersebut (dirasatun nushush). Ketiga, mengistinbath hukum syara dari dalil-dalil syarauntuk menyelesaikan persoalan yang ada.
Metode itulah yang dapat kita gunakan untuk menjawab setiap tantangan zaman. Secara ringkas, Islam menjawab tantangan zaman dengan cara memberikan pemecahan terhadap problem-problem baru yang muncul. Inilah pengertian yang benar mengenai bagaimana Islam menjawab tantangan zaman yang terjadi. Dengan demikian, jelas tidak betul pendapat yang mengatakan bahwa dalam menjawab tantangan zaman. Islam menempuhnya dengan cara beradaptasi, menyesuaikan diri, atau mengubah hukum-hukumnya agar selaras dengan tuntutan keadaan. Dalihnya, Islam itu luwes, fleksibel, tidak kaku, tidak ekstrem, tetapi moderat, lunak, dan selalu bersikap kompromistis dengan realitas. Dalih batil itu kadang juga dilengkapi dengan kaidah ushul fiqih yang fatal kekeliruannya:
Laa yunkaru taghayyurul ahkam bi taghayyuriz zaman wal makan.
(Tidak boleh diingkari, adanya perubahan hukum karena perubahan waktu dan tempat)[11]
Berdasarkan argumen-argumen sesat itu akhirnya mereka membuang hukum-hukum Islam yang dianggapnya biadab atau tidak sesuai dengan semangat orang zaman modern saat ini. Hukum potong tangan bagi pencuri, hukum rajam bagi pezina, haramnya riba, hukuman mati untuk orang murtad, harus dienyahkan dari muka bumi karena dianggap tidak berperikemanusaan, sudah usang, kuno, dan ketinggalan zaman. Begitu pula kewajiban jihad fi sabilillah dan kewajiban adanya Khilafah Islamiyah harus ditolak mentah-mentah atau diselewengkan dari pengertiannya yang hakiki, karena dianggap sebagai kegiatan kaum ekstremis, fundamentalis, serta tidak cocok dengan selera orang yang telah maju pikirannya. Pendapat seperti ini, serta pola pikir yang melahirkan pendapat ini, sangat bertentangan dengan Islam. Karena pola pikir yang dipakai oleh mereka yang berpendapat seperti itu, adalah pola pikir khas Barat tatkala mereka berbicara tentang persoalan hukum dan kaitannya dengan kenyataan masyarakat yang ada. Hukum, menurut Barat, haruslah lahir dari masyarakat. Hukum adalah anak kandung, dan ibunya adalah masyarakat. Dengan kata lain, yang sumber hukum, adalah keadaan masyarakat itu sendiri. Karenanya, jika keadaan masyarakat berubah, berubah pulalah segala nilai, norma, dan pranata kehidupan[12]
Pandangan ini adalah pandangan kufur, yang bertentangan dengan Islam. Sebab dalam Islam sumber hukum adalah wahyu semata, bukan yang lain. Bukan kenyataan masyarakat, bukan tuntutan keadaan, bukan semangat kemodernan, bukan pula hal-hal lain yang sebenarnya merupakan alasan-alasan yang terlalu dicari-cari. Jika zina dan riba telah haram menurut wahyu, maka sampai Hari Kiamat tetap haram. Jika hudud wajib dilaksanakan menurut wahyu, maka statusnya tetap wajib sampai Hari Kiamat. Begitu pula jihad dan Khilafah yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, hukumnya tetap wajib dan tidak boleh dianulir atau dibatalkan oleh siapa pun sampai Hari Kiamat.
Seorang muslim yang meyakini pola pikir itu secara jazim (membenarkannya dengan pasti), sungguh dia telah murtad dan keluar dari agama Islam. Sebab, pandangan tersebut berarti menolak nash-nash yang qathi tsubut (pasti sumbernya dari Rasulullah) dan qath’i dalalah (pasti pengertiannya) yang mewajibkan kita untuk terikat dengan hukum-hukum syara dan menyumberkan hukum-hukum syara itu dari al wahyu semata, bukan yang lainnya.[13] Sumber hukum dalam Islam adalah wahyu, bukan kenyataan masyarakat. Allah SWT berfirman :
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”. (QS Al Araaf :3)








BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
HMI merupakan sebuah organisasi perjuangan yang telah lama hadir di Indonesia dalam menciptakan kader-kader sebagai leader di bangsa ini, HMI telah ikut berperan aktiv dalam kancah perpolitikan dan dimensi ruang social di bangsa yang telah merdeka 66 tahun silam.
Tidak dapat dipungkiri setelah berdirinya HMI di tahun 1947, HMI langsung memberi kontribusinya untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan bangsa ini, yang saat itu sedang mengalami degradasi moral setelah dijajah ratusan tahun oleh bangsa luar. Ini juga dikarenakan alasan atau penyebab Lefran Pane menagmabil inisiatif untuk mendekalrasikan HMI.
Tidak mudah bagi HMI saat itu untuk mengambil peran dalam mempertahan NKRI dikarenakan tekanan-tekanan yang datang dari luar, bahkan banyak kader-kader HMI disaat itu dibunuh dan dimarginalkan oleh oknum-oknum yang bertentangan dengan HMI, terutama disebabkan oleh perbedaan ideologi. Namun semangat kader-kader HMI di saat itu tidak mudah luntur oleh ancaman dan tekanan, mereka terus mampu menunjukan eksistensinya dalam mengisi kemerdekaan dan member andil dalam membangun sebuah peradaban yang islami dan mampu membendung arus komunis yang saat sedang berkembang pesat di tanah air ini.
Di era orde baru begitu banyak organisasi-organisasi yang di bubarkan oleh pemerintah, namun HMI dengan berdasarkan keislamannya masih mampu mempertahankan diri hingga sampai era reformasi HMI  terus memberikan kontribusinya melalui kader-kader yang telah dihasilkannya untuk mewarnai demokrasi di Indonesia.
Dalam perjalanannya HMI tidak selalu berjalan mulus, masih banyak permasalahan yang terjadi dalam tubuh HMI untuk memberikan kontribusinya kepada bangsa Indonesia. Bahkan tidak sedikit kader-kader HMI yang mencoreng almamaternya sendiri dan harus diakui ini juga merupakan sebuah peran kearah negative yang diberikan oleh HMI kepada bangsa ini.
63 tahun memang belum waktunya untuk menikmati secara keseluruhan hasil-hasil dari apa yang telah diperbuat selama waktu itu. Sebagai organisasi perjuangan maka kita harus selalu berpandangan bahwa perjuangan ini masih jauh, dan kita harus meningkatkan amal dan pengabdian kita untuk terwujudnya tujuan tersebut. Karena pada hakikatnya, hidup ini adalah suatu perjuangan dan perjuangan itu adalah suatu proses panjang yang harus dilakukan setiap saat.
HMI tidaklah boleh terus terlena dengan romantisme masa lalu, haruslah ada perubahan di dalamtubuh HMI, dari semua lini, apakah secara struktural atau kultural di internal HMI sendiri. Persatuan menjadi modal dasar bagi HMI agar terus eksis.
B.      Saran- saran
HMI tidaklah boleh terus terlena dengan romantisme masa lalu, haruslah ada perubahan di dalamtubuh HMI, dari semua lini, apakah secara struktural atau kultural di internal HMI sendiri. Persatuan menjadi modal dasar bagi HMI agar terus eksis.
Hmi juga harus mengingat bahwa ini adalah organisasi pengkaderan, dan inilah kita harus kembali kepada titah perjuangan yang sebenarnya. Tidak terus terseret ke arus politik, karena HMI bukan hanya mengurusi bidang politik.
Peningkatan kapasitas setiap kader juga harus ditingkatkan, buat apa kita sebagai organisasi besar tetapi kader yang kita miliki hanya penjadi pengekor tanpa kapasitas untuk diri sendiri. Moral para kader juga harus diperhatikan kembali.
Melakukan reformasi keagamaan untuk meningkatkan dan memperbaharui pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran agama Islam bagi setiap individu anggota HMI, memperkokoh kembali tradisi intelektual HMI yang pernah diraihnya, sebagai pewaris dari generasisebelumnya, HMI harus menghindari kepentingan politik sesaat dan harus berani untuk melakukan koreksi, kritikan terhadap alumni HMI dimanapun berada, sebagai konsekuensi dari sifat indenpendensi HMI.
DAFTAR PUSTAKA

Saleh, Hasanuddin M. HMI dan Rekayasa Azas Tunggal Pancasila, Yogyakarta : Kelompok Studi Lingkaran, 1996

Karim, M. Rusli. HMI MPO ; Dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia,  Bandung : Mizan, 1997
Sitompul, Agussalim. Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Jakarta : Integrita Press, 1997

Mufti , M. Ahmad dan Al Wakil, Sami Shalih. At Tasyri wa Sannul Qawanin fi Ad Daulah Al Islamiyah,
Alfaqirillah.”risalah pergerakan mahasiswa” Jakarta: lingkar pena, 2007
Muhlish, Usman. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, 2000
Aritonang, Diro. runtuhnya rezim soeharto, Bandung : Pustaka hidayah, 1999
Antonie, C.A. Dake, Soekarno File berkas-berkas Soekarni 1965-1967 “kronologi suatu keruntuhan “,Jakarta : Aksara Taruna, 2005
Tanja, Victor I. HMI, Sejarah dan Kedudukannya Ditengah Gerakan Muslim Pembaharu Indonesia, Sinar Harapan, 1982 




[1] Saleh, Hasanuddin M. 1996. HMI dan Rekayasa Azas Tunggal Pancasila. Yogyakarta : Kelompok Studi Lingkaran
[2] Karim, M. Rusli. 1997. HMI MPO ; Dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia. Bandung : Mizan.
[3] Mengenai sikap akomodasionis HMI ini, Lafran Pane (pendiri HMI) dalam majalah Forum Pemuda no. 41, Mei 1983, mengatakan bahwa sikap akomodasionis HMI ini sudah merupakan kodrat HMI dalam aktivitas organisasinya. (Ibid.)
[4] Sitompul, Agussalim. 1997. Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia.   Jakarta : Integrita Press.
[5] Tokoh sentral HMI pada peristiwa penolakan azas tunggal Pancasila. Dia adalah founding father dari HMI MPO, sekaligus ketua umum pertama HMI MPO periode 1986-1998.
[6] Karim, M. Rusli. 1997. HMI MPO ; Dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia. Bandung : Mizan
[7] Sifat independen HMI sudah ditegaskan sejak HMI berdiri dan itu dilegalisasi dalam konstitusinya. Independensi oleh HMI punya dua pemaknaan; pertama independensi organisatoris, HMI tidak berafiliasi (bukan bagian) dengan parpol atau ormas manapun tapi berdiri sendiri; kedua independensi etis, HMI akan bekerja sama dengan pihak manapun dalam memperjuangkan kebenaran (hanief) karena HMI meyakini  kebenaran itu hak mutlak dan bersumber dari Allah yang dijabarkan dalam ajaran Islam. (PB HMI, 1986).
[8] Alfaqirillah”risalah pergerakan mahasiswa”2007 lingkar pena
[9].. Asy Syakshiyah Al Islamiyah.  Juz I hal. 303

[10]. Nizhamul Islam. hal. 69
[11].  Muhlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, hal. 145

[12] . Dr. M. Ahmad Mufti dan Dr. Sami Shalih Al Wakil, At Tasyri wa Sannul Qawanin fi Ad Daulah Al Islamiyah, hal. 9-11
[13] Ahmad Jibraan

1 komentar: